Wednesday, January 31, 2007

Sikap KSP


Sudah Waktunya Bersikap dan Bertindak Tegas!

SERUAN yang dikirim Mas Bre Redana ke milis Kompas seharusnya dibuat sejak ada demo-demo di kantor Kompas di Yogyakarta, kemudian berlanjut di Jakarta. Apalagi ketika spanduk panjang di Bundaran HI dan di samping kantor KKG di Palmerah dipajang. Saya waktu itu bertanya-tanya, mengapa wartawan Kompas cuma diam saja, membiarkan orang dengan seenaknya memaki-maki Kompas, mengajak orang memboikot tidak baca Kompas, melempar telur busuk ke kantor Kompas Yogya, memasang spanduk panjang di Bundaran HI dan di samping kantor KKG di Palmerah? Kok Kompas sabar amat ya? Namun setelah cukup lama menunggu, akhirnya teman-teman wartawan Kompas mengambil sikap tegas dengan menandatangani SERUAN WARTAWAN KOMPAS.

Saya sendiri sempat dikirimi SMS gelap yang isinya menyebutkan bahwa saya dilaporkan ke polisi karena menyebarkan berita fitnah di www.kompas.com. Berita itu bersumber dari penjelasan Pemred Kompas Suryopratomo perihal peristiwa yang terjadi pada Bambang Wisudo. Sepengetahuan saya, berita-berita yang dimuat dotcom lainnya dan beberapa radio yang mengulas soal Wisudo, tidak ada konfirmasi pihak berwenang Kompas. Makanya, wajar jika Dewan Pers membenarkan pemuatan berita di www.kompas.com tersebut. sebagai hak jawab Kompas.

Menurut saya, sudah waktunya, Kompas, wartawan Kompas, karyawan Kompas, pimpinan Kompas, siapapun yang mencintai Kompas, menggugat balik Sdr Wisudo ke Polda Metro Jaya yang telah mencemarkan nama baik lembaga ini dengan menyebarkan berita-berita tidak benar di berbagai milis dan di blog (
http://kompasinside.blogspot.com/) juga sudah memajang spanduk dengan kalimat yang menurut saya, bernuansa "menghina".

Sudah waktunya, kita, para insan Kompas yang mencintai Kompas, bersikap tegas atas kesewenangwenangan yang dilakukan Wisudo. Menjelek-jelekkan perusahaan tempat kita bekerja di luar Kompas, tempat kita mencari nafkah lahir batin, apakah itu pantas? Menurut saya, tak ada perusahaan di mana pun di dunia ini, yang mau mempekerjakan karyawannya yang sudah bertindak sewenang-wenang, menjelek-jelekkan perusahaan tempat dia bekerja, kepada pihak luar sana. Karena itu, bukan hanya tindakan PHK yang harus dilakukan, tetapi juga tindakan hukum, mengugat balik ke polisi atas pencemaran nama baik yang dilakukannya selama ini, itulah langkah paling tepat, yang harus ditempuh saat ini.

Wartawan dan rakyat biasa,
R Adhi Kusumaputra

Demi Kebenaran


Seruan Wartawan Kompas

Dilahirkan tahun 1965, Harian Kompas—nama ini diusulkan oleh Presiden Soekarno yang artinya “pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan rimba”—sampai saat ini tetap menempatkan mottonya, “Amanat Hati Nurani Rakyat” sebagai cakrawala. Harian Kompas ingin tetap berkembang dan mengembangkan diri sebagai institusi pers yang mengedepankan keterbukaan, meninggalkan pengkotakan latar belakang suku, agama, ras, dan golongan.

Sebagai lembaga yang terbuka, kolektif, Harian Kompas menempatkan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi, mengarahkan fokus perhatian dan tujuan pada nilai-nilai yang transenden atau mengatasi kepentingan kelompok. Dengan cakrawala itu pula, Harian Kompas ingin ikut serta dan secara aktif berupaya terlibat dalam proses mencerdaskan bangsa, atau lebih jauh lagi, memuliakan manusia.

Sebagai institusi dengan alasan penjadian seperti di atas, maka segenap wartawan Kompas merasa perlu harus tekun, tak pernah berhenti bergulat dengan nilai-nilai dasar Kompas, yang antara lain bersifat menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan harkat dan martabatnya; mengutamakan watak baik; profesional; selalu sadar atas tugas mengemban tanggung jawab sosial.

Dinamika di dalam, yang selalu berada pada posisi tarik-menarik, tawar-menawar, bernegosiasi antara kepentingan perusahaan beserta seluruh wartawan/karyawannya dengan idealisme institusi ini, adalah hal yang wajar terjadi, pada suatu institusi bisnis. Ketegangan antara kepentingan perusahaan sebagai institusi bisnis di satu pihak, dan idealisme pers yang bertugas mengemban tanggung jawab sosial di lain pihak, merupakan bentuk ketegangan yang ikut mendewasakan siapa saja yang bekerja di surat kabar ini. Selama ini, ketegangan seperti itu diselesaikan dengan semangat kebersamaan, dengan asumsi adanya pengutamaan watak dan niat baik semua pihak, atau bahkan dengan pertama-tama mensyukuri rahmat Tuhan atas peran yang bisa kami mainkan selama ini. Di sini memang terbersit adanya asketisme di antara kami wartawan Kompas. Pilihan hidup sebagai wartawan dalam beberapa hal mengandung aspek vocatio, panggilan, untuk ikut memuliakan kehidupan dan kemanusiaan.

Latar belakang di atas perlu kami paparkan, karena kami melihat pada waktu-waktu belakangan ini di luar Kompas telah muncul suatu “petualangan” oleh satu pihak yang melakukan aksi untuk mendiskreditkan, merongrong, memutar-balikkan nilai-nilai yang diemban oleh Harian Kompas. “Petualangan” oleh pihak tersebut dilakukan dengan aksi sepihak berupa antara lain kegiatan demonstrasi di seputar kantor Harian Kompas dan beberapa tempat lain; pemasangan spanduk-spanduk yang sifatnya mendiskreditkan perusahaan maupun individu; penyampaian informasi-informasi sepihak tentang berbagai kejadian yang telah “diorkestrasi” pihak tersebut untuk memojokkan Harian Kompas ke berbagai pihak seperti lembaga-lembaga swadaya masyarakat, lembaga resmi pemerintah, dan lain-lain; menempatkan berbagai pihak di dalam Harian Kompas dalam posisi antagonistik; dan menyebarkan hasutan dan sifat saling bermusuhan.

Untuk mencegah “petualangan” itu berkembang lebih jauh sehingga merugikan berbagai pihak, terutama masyarakat luas yang ikut memiliki Harian Kompas, maka dengan ini kami, wartawan Kompas, mengeluarkan seruan:

1. Kami, wartawan Kompas, tidak merasa diwakili oleh satu pihak, yang tengah berpretensi mewakili kepentingan para wartawan/karyawan Harian Kompas, dengan melakukan aksi sepihak berikut cara-cara yang justru bertentangan dengan segenap nilai yang hendak diinternalisasikan Harian Kompas.

2. Karena pihak tersebut mengklaim diri sebagai pengurus dari suatu organisasi di dalam Harian Kompas—suatu organisasi yang sifatnya lebih untuk kepentingan di dalam, dan menjadi isu minor dibandingkan kepentingan pembaca/masyarakat secara luas—kami nyatakan klaim itu tidak relevan. Organisasi ini telah dibajak keluar untuk memperjuangkan kepentingan pribadi yang sempit, dengan berkedok untuk kepentingan para wartawan/karyawan Harian Kompas.

3. Kami mengimbau semua pihak berhati-hati, karena dalam era globalisasi berikut tersedianya berbagai instrumen dan institusi yang memungkinkan adanya pemberdayaan individu secara optimum ini, tampaknya bukan tidak mungkin muncul apa yang disebut “a super-empowered angry individual” yang berpotensi menghancurkan cita-cita terbentuknya masyarakat madani, proses demokratisasi, bahkan sivilisasi.

Jakarta, 27 Januari 2007



Kami, wartawan Kompas:

1. Efix Mulyadi
2. M. Nasir
3. Budi Suwarna
4. Mh Samsul Hadi
5. Maria Hartiningsih
6. Frans Sartono
7. Hamzirwan
8. Hermas E Prabowo
9. Luki Aulia
10. Pascal S Bin Saju
11. Amir Sodikin
12. Hariadi Saptono
13. Nawa Tunggal
14. Dahono Fitrianto
15. Ida Setyorini
16. Mulyawan Karim
17. Fandri Yuniarti
18. Gunawan Setiadi
19. Nur Hidayati
20. Susi Ivvaty
21. Osa Triyatna
22. Chris Pudjiastuti
23. Kenedi Nurhan
24. Orin Basuki
25. Tiur Santi Oktavia
26. Banu Astono
27. Bre Redana
28. M Suprihadi
29. Iwan Ong
30. Ninuk Mardiana Pambudy
31. Haryo Danardono
32. Tonny D Widiastono
33. M Clara Wresti
34. Fitrisia M
35. Brigitta Isworo Laksmi
36. Danu Kusworo
37. Jimmy S Harianto
38. Lusiana Indriasari
39. Myrna Ratna
40. Agus Mulyadi
41. Agus Hermawan
42. Diah Marsidi
43. Neli Triana
44. Windoro Adi
45. Irving Noor
46. Yesayas Octavianus
47. Yulia Sapthiani
48. Caesar Alexey
49. Arbain Rambai
50. Pingkan E Dundu

51. Pepih Nugraha
52. Anton Sanjoyo
53. Abun Sanda
54. Sri Hartati Samhadi
55. Dirman Thoha
56. Jannes Eudes Wawa
57. Putu Fajar Arcana
58. M Yuniadhi Agung
59. Dedi Muhtadi
60. Bambang Wahyu
61. Elly Roosita
62. Ambrosius Harto
63. Ardhian Novianto
64. Agnes Sweta Pandia
65. Muhammad Bakir
66. Yunas Santhani Azis
67. Muhammad Syaifullah
68. Gatot Widakdo
69. Buyung Wijaya Kusuma
70. Anwar Hudiono
71. R Adhi Kusumaputra

NB:
Rekan-rekans wartawan yang belum sempat menyantumkan namanya sebagai pendukung seruan segera menyusul...

Moderator

Tuesday, January 30, 2007

Seruan


Jangan Tinggal Diam!

Rekans... kita tidak boleh tinggal diam menghadapi hasutan yang dilancarkan pihak manapun untuk mendiskreditkan Kompas, lembaga yang kita cintai ini. Kini zamannya perang informasi dengan menggunakan beragam media, termasuk blog. Pihak penghasut jelas memanfaatkan blog untuk mendiskreditkan Kompas, menghasut kita semua. Apakah kita hanya tinggal diam?

Kita juga bisa bikin blog. Sementara namanya InsideKompas dengan alamat
www.insidekompas.blogspot.com. Rekan bisa menulis apapun di blog ini dengan maksud bisa dibaca orang lain, kawan maupun lawan kita. Sudah saatnya unek-unek di milis yang hanya dapat diakses secara terbatas ditingkatkan ke dalam blog, agar semua isi kepala dan hati kita bisa dimengerti orang lain.

Semula saya (anggaplah moderator) ingin blog ini akses terbuka, dimana rekans mengetahui akun dan pasword-nya. Akan tetapi, akses terbuka ini bisa dengan mudah dihancurkan dan dikacaukan lawan. Untuk sementara, unek-unek rekans yang termuat di milis Kompas bersedia di upload di blog ini, akan saya bantu untuk menampilkannya.

Manfaatkanlah akses gratis ini, demi tegak dan tetap berdirinya Kompas dari serangan lawan. Ayo gerak, jangan diam, lawan...

Moderator