Wednesday, February 28, 2007

2806 Karakter (3)

Berdamai dengan Kenyataan

APA makna “Rabu, 28 Februari 2007 pukul 24.00”? Mungkin tidak bermakna apa-apa bagi sebagian orang. Tetapi bagi ibu yang melahirkan anaknya tepat di waktu ini, atau seorang anak meratapi kematian ayahnya tepat di detik ini, pastilah sang waktu bermakna dalam. Di lingkungan kerja kami, momen itu adalah detik-detik berakhirnya kepengurusan Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK).

Banyak ucapan terima kasih yang disampaikan kepada PKK yang diketuai Syahnan Rangkuti selama dua tahun masa baktinya. Terungkap, bahwa perjuangan PKK terhadap anggotanya, meski itu bukan serikat pekerja, cukup “membumi” dari sekadar perjuangan kontroversial meminta saham. Namun orang segera melupakan jerih payah PKK itu kalau tidak diingatkan sejumlah kawan melalui milis.

Memang, yang menenggelamkan jerih payah PKK adalah upaya sepihaknya memperpanjang kepengurusan selama enam bulan ke depan. Ibarat nila setitik rusak susu segentong, jerih payah dan perjuangan itu meruap, seperti sepotong ranting terseret derasnya aliran air sungai.

Upaya memperpanjang kepengurusan sepihak yang dimotori delapan pengurusnya itu dianggap sebagai sewenang-wenang, tidak demokratis, dan melecehkan “konstituen”, yakni anggota (karyawan) yang memilih pengurus PKK. Kita tahu, ada alasan yang dikemukakan atas perpanjangan itu, yakni “masih adanya masalah yang belum terselesaikan” selama periode kepengurusannya.

Lagi-lagi, orang menangkapnya sebagai ketidakpercayaan, bahkan ketidakrelaan, pengurus PKK terhadap pengurus baru yang akan menggantikannya. Sebagian lagi berpendapat, itu tidak lain dari “kemaruk kuasa”. Suatu permainan yang telah disepekati sebelumnya namun diingkari justru saat permainan itu akan berakhir, tetap akan mengundang reaksi, setidak-tidaknya pertanyaan kalau tidak mau dikatakan kecaman.

Kita tangkap kecaman sejumlah karyawan/wartawan melalui milis atas upaya memperpanjang kepengurusan itu. Di sisi lain, tidak ada satu karyawan pun yang membenarkan upaya sepihak itu. Tidak puas dengan kecaman, aksi mengumpulkan tanda tangan ketidaksetujuan perpanjangan masa kepengurusan pun berlangsung. Bisa diterjemahkan sebagai “mosi tidak percaya”, sekaligus meminta diadakannya pemilihan Ketua PKK yang baru.

Selesai pengumpulan tanda tangan, beberapa jam sebelum masa kepengurusan PKK berakhir, tiga dari delapan pengurusnya menyatakan berhenti dari kepengurusan. Mereka adalah Arbain Rambey, Adi Prinantyo dan Nur Hidayati.

Pengurus PKK berjumlah sepuluh orang. Mereka adalah Syahnan Rangkuti (Ketua), Arbain Rambey, Salomo Simanungkalit, Rien Kuntari, Paulus Bambang Wisudo, Nur Hidayati, Anung Wendyartaka, Luhur Fajar, Doty Damayanti, dan Adi Prinantyo. Hanya dua orang yang tidak hadir saat rapat PKK memutuskan perpanjangan kepengurusan, yakni Rien Kuntari dan Nur Hidayati. Dengan berhentinya tiga pengurus PKK, praktis tinggal enam pengurus yang tersisa.

Detik-detik menentukan bagi kepengurusan PKK berikutnya akan ditentukan dalam detik-detik ini pula. Bisa saja masih ada pengurus PKK lainnya yang menyatakan berhenti. Bisa juga enam pengurus PKK (lama) yang tersisa masih ngotot untuk memperpanjang masa jabatannya selama enam bulan ke depan.

Memang sulit membayangkan sebuah kepengurusan tanpa dukungan penuh anggotanya, seperti lokomotif yang meluncur sendiri di atas rel ketidakpastian. Sementara konstituen yang merasa dilecehkan telah membentuk kepanitiaan untuk memilih Ketua PKK yang baru.

Kita tidak mungkin tahu bagaimana akhir kisah ini mesti sejam ke depan. Yang paling mungkin adalah: berdamailah dengan kenyataan!

Monday, February 26, 2007

2806 Karakter (2)

Memperpanjang Itu Enak!

DUDUK di kepengurusan organisasi itu memang enak, dari kepengurusan RT sampai kepengurusan kabinet, kalau itu dinikmati dan dikehendaki. Dulu Soeharto memelintir sedemikian rupa sistem ketatanegaraan sehingga memungkinkan dia duduk selama 32 tahun di tampuk kuasa negeri ini.

Ketika pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) menyatakan diri memperpanjang masa kepengurusannya selama enam bulan ke depan, tentu saja yang terlintas dalam ingatan adalah kelakuan Soeharto itu! Jelas, ada maksud baginya untuk selalu memperpanjang kekuasaan.

Apakah PKK juga punya maksud tertentu dengan memperpanjang masa kepengurusannya? Hanya orang sinting saja yang menjawab “Tidak ada maksud apa-apa”. Konon, perpanjangan itu “terpaksa” dilakukan karena “masih adanya masalah yang belum terselesaikan”. Maksudnya belum terselesaikan selama masa kepengurusan itu.

Pertanyaannya adalah: bisa dijaminkah selama rentang enam bulan ke depan masalah itu bisa diselesaikan? Kalau masih menggantung alias tidak bisa terselesaikan, apakah PKK juga akan memperpanjang kembali kepengurusannya entah untuk rentang waktu berapa lama lagi? Akan terus dan terus memperpanjang kepengurusankah selama apa yang disebut “masih adanya masalah yang belum terselesaikan” itu masih ada? Lantas mau sampai kapan?

Meski kita tahu PKK hanyalah sebuah paguyuban dan bukan serikat pekerja, tetaplah cara-cara memperpanjang kepengurusan secara sepihak bukanlah contoh yang baik dalam berorganisasi. Mengapa? Karena ia mengabaikan “konstituen”, yakni para anggota PKK yang dulu pernah memilih kepengurusan PKK. Dianggap apa mereka? Mau dikemanakan konstituen ini? Mengapa mereka tidak ditanya?

Jangan heran kalau kemudian para konstituen yang katakanlah anggota PKK membuat suatu “move”, menyatakan ketidaksetujaun atas perpanjangan masa kepengurusan itu. Tentu bukan “total war” yang hendak dimainkan, hanya bertanya dengan cara lain saja. Mungkin dalam bentuk "pernyataan sikap tidak setuju" yang diajukan, entah lewat pengumpulan tanda tangan atau bentuk lainnya.

Bukan persoalan semena-mena dibalas semena-mena. Justru dengan pernyataan sikap tidak setuju perpanjangan kepengurusan itu menunjukkan sikap demokratis dan toleran, karena mereka yang setuju perpanjangan masa kepengurusan juga diberi tempat, sekaligus diberi hak.

Tentu saja pernyataan ketidaksetujuan perpanjangan kepengurusan PKK ini akan segera dipelintir pihak luar sebagai “tidak demokratis”, “memberangus serikat pekerja”, dan lain-lain. Ah, apanya yang diberingus? Wong serikat pekerja saja kami tidak punya!

Yang kami punya adalah paguyuban karyawan yang bernama Perkumpulan Karyawan Kompas alias PKK itu. Tidak usahlah bermain pasal-pasal dengan mengatakan Kompas memberangus serikat pekerja. Lihat saja kenyataannya, memang kami tidak punya serikat pekerja kok, apanya yang diberangus? Undang-undang juga tidak mewajibkan perusahaan punya serikat pekerja. Yang tidak boleh adalah menghalang-halangi pendirian serikat pekerja!

2806 Karakter (1)

Mukadimah:

Banyak teman bertanya mengapa blog Insidekompas ini vakum dan tidak pernah diisi postingan baru sejak 20 Februari lalu. Apakah blog ini ditutup karena adanya "imbauan" dari pihak-pihak tertentu? Tidak ada, tidak ada "imbauan", apalagi tekanan harus menutup diri! Hanya karena masalah teknis saja yang membuat blog ini istirahat selama seminggu. Kini postingan hadir dengan rubrik "2806 Karakter". Maksudnya, karakter setiap postingan dalam rubrik ini kira-kira sejumlah itulah, setara satu halaman MS-Word tanpa spasi. Berapa seri akan dipostingkan, tergantung situasi dan suasana hati. Pesannya pendek, jelas, tidak berbelit-belit, dan langsung kenai sasaran, biar tidak melelahkan. Isinya sebagaimana blog umumnya adalah "gue banget", sebab ini memang "berita" si empunya blog, bukan pendapat ramai-ramai alias gerombolan, apalagi pendapat sebuah organisasi atau manajemen perusahaan. Just ordinary people makes his own story. Just me...

Tak Ada Boikot

APAKAH benar manajemen Kompas memberlakukan boikot terhadap 172 orang yang mengaku diri ilmuwan, dosen dan peneliti pembuat "Petisi dari Para Sahabat", yang menyatakan menentang cara-cara Kompas memecat seorang wartawannya?

Itulah pertanyaan sejumlah sahabat. Arti boikot di sini, Kompas melarang wartawan atau editornya menghubungi ke-172 penandatangan itu untuk tidak dijadikan lagi sumber, narasumber lisan maupun tulisan, tidak menyiarkan siaran persnya, dan bahkan tidak memuat artikelnya.

Kita tegaskan: tidak ada boikot! Manajemen Kompas sama sekali tidak memberlakukan boikot terhadap orang-orang yang jelas butuh pencerahan, orang-orang yang barangkali tidak tahu persis duduk persoalannya, namun atas nama “solider” atau “setia kawan”, mereka telanjur menghujat Kompas sebagai telah melakukan kekerasan, tidak humanis, dan sebagainya. Boikot bukanlah penyelesaian masalah secara bijak.

Adalah tugas kita, wartawan, editor dan orang-orang Kompas lainnya menanyakan kepada mereka secara simpatik apa maksud dan tujuan membuat petisi itu. Kita jelaskan secara sabar duduk perkara dan latar belakangnya secara jernih, person to person. Pendekatan kita bukanlah “total war”, pendekatan yang digunakan sebuah organisasi yang ironisnya memproklamirkan diri sebagai pengusung “peace journalism”.

Bahwa Kompas tidak melakukan boikot, terbukti dari adanya beberapa anggota petisi 172 itu yang opininya dimuat, bahkan sudah dijadikan narasumber. Beberapa dari 172 itu ada yang datang langsung ke Kompas atau sekadar menanyakan lewat ponsel apakah benar dirinya diboikot karena masuk ke dalam petisi. Sejauh ini selalu ditegaskan: tidak ada boikot!

Jangan takut, kawan!

Harus dicatat, tidak ada boikot adalah memang keputusan manajemen. Tetapi bagaimana dengan individu-individu Kompas, katakanlah wartawan di lapangan dan editor yang menentukan laik-tidaknya berita diturunkan? Kenyataannya, ada sebagian di antara mereka yang sudah memegang daftar ke-172 nama itu.

Kalau masing-masing individu sebagai wartawan maupun editor ada yang terluka, terhina, atau tersinggung dengan pernyataan 172 anggota petisi, bukankah mereka juga punya hak untuk tidak menghubungi atau menggunakan ke-172 orang itu sebagai sumber?

Memang, dunia jurnalistik mengenal istilah “langit takkan runtuh” kalau tidak memberitakan suatu peristiwa, apalagi kalau itu sekadar siaran pers atau konferensi pers. Kita juga bisa bersikap untuk tidak memilih sumber dari orang atau organisasi tertentu, toh masih banyak orang atau organisasi lainnya untuk dijadikan narasumber. Bagaimana kalau wartawan dan editor punya pandangan seperti itu?

Jangan salahkan kami!

Bagaimana pun kami juga manusia, punya rasa dan punya hati. Kami tunduk pada aturan main, pada aturan perusahaan, pada kemauan manajemen yang tidak akan pernah melakukan boikot, sekalipun kepada orang-orang atau organisasi yang telah menghina dan mempermalukan Kompas. Tetapi di lapangan masing-masing wartawan punya independensi dan kebebasan memilih narasumber.

Kalau nama Anda tidak pernah muncul di Kompas dan Anda tidak pernah dihubungi lagi untuk diminta sebagai sumber, siaran pers Anda langsung menjadi penghuni tong sampah, itu bukan karena keputusan manajemen, juga bukan karena kemauan manajemen. Itu lebih karena independensi kami sebagai manusia yang selalu berpikir bebas dan bertindak lugas.

Mungkin ini yang Anda belum paham!

Tuesday, February 20, 2007

Kompas OL Tidak Melanggar



Mukadimah:

Meski berita ini agak telat dipostingkan, tetap melegakan karena Dewan Pers menilai berita Kompas online berjudul "Satpam Tidak Menyandera dan Menganiaya Wartawan" yang ditulis wartawan Kompas R Adhi Kusumaputra (KSP), tidak terdapat pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, khususnya Pasal 1 tentang akurasi, keberimbangan, dan adanya itikad buruk. Rekan-rekan dapat mengikuti bagaimana persisnya rekomendasi tersebut di bawah ini.

Moderator


PERNYATAAN, PENILAIAN & REKOMENDASI
03 Januari 2007 14:18:35

Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers Nomor 19/PPR-DP/XII/2006 Tentang Pengaduan Bambang Wisudo Terhadap Kompas online

Pada 21 Desember 2006, Dewan Pers menerima pengaduan dari Sdr. P Bambang Wisudo disertai aktivis yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) selaku pendamping, atas pemberitaan Kompas online berjudul "Satpam tidak Menyandera dan Menganiaya Wartawan", yang ditulis wartawan Kompas Sdr. R Adhi Kusumaputra.

Menurut pengadu berita tersebut tidak berimbang karena Kompas online maupun wartawan bersangkutan tidak pernah menghubungi dirinya sebagai pihak yang dirugikan atas pemberitaan tersebut. Berita itu juga mengarah pada pencemaran nama baik, karena seolah-olah dirinya telah memutarbalikkan peristiwa kekerasan dan penyekapan yang dialaminya pada 8 Desember 2006.

Upaya pengadu untuk menggunakan hak jawab tidak dilayani oleh pihak-pihak terkait dalam jajaran Kompas.

Setelah mempelajari dengan sungguh-sungguh isi tulisan Kompas online dan melakukan klarifikasi kepada jajaran pimpinan Kompas pada 27 Desember 2006 maupun bukti-bukti berita yang tersebar di berbagai milis, maka Dewan Pers menyatakan sebagai berikut:

Penilaian:

Bahwa berita Kompas online berjudul "Satpam tidak Menyandera dan Menganiaya Wartawan" adalah merupakan hak jawab Kompas atas berita-berita sebelumnya yang telah tersebar di berbagai milis tanpa klarifikasi kepada pimpinan Kompas itu sendiri. Dengan demikian, pemberitaan Kompas online tersebut tidak terkait dengan pelanggaran Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik tentang akurasi, keberimbangan dan adanya itikad buruk.

Hak jawab pengadu disampaikan secara lisan, sehingga sulit untuk diuji kesahihannya. Hal tersebut juga tidak sesuai dengan Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers (vide Keputusan Dewan Pers Nomor 06/SK-DP/IV/2006) dimana disebutkan antara lain: "Pihak pengadu disarankan mengirimkan surat pernyataan keberatan yang ditujukan ke media bersangkutan melalui surat pembaca atau mengirimkan hak jawab". Penyampaian hak jawab secara lisan oleh pengadu menjadi tidak relevan dengan pelanggaran atas Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik tentang pelayanan hak jawab.

Mengenai peristiwa penyekapan dan kekerasan yang disebut-sebut oleh pengadu lebih merupakan wilayah kerja kepolisian RI untuk, bila perlu, melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Rekomendasi:
Bahwa tidak ditemukan pelanggaran Kode Etik atas pemberitaan Kompas online berjudul: "Satpan: tidak Menyandera dan Menganiaya Wartawan". Untuk itu, persoalan antara pengadu dan teradu agar diselesaikan secara internal dengan mendepankan musyawarah-mufakat.

Bila para pihak berkehendak membawa persoalan itu ke jalur hukum maupun pihak terkait lainnya, hal itu bukan merupakan wilayah kerja Dewan Pers.

Demikian Pernyataan Pernilaian dan Rekomendasi Dewan Pers.

Jakarta, 29 Desember 2006

Dewan Pers,

ttd

Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA


Ketua

Waspadalah! Waspadalah! (1)


Ditolak Wawancara?


PAK Muhammad Nasir (NAS) menulis di milis bahwa sudah ada rekan wartawan Kompas yang ditolak saat hendak mewawancara pendukung Wisudo, yakni mereka yang menjadi anggota "Petisi dari Para Sahabat". Pak NAS mengusulkan agar semua wartawan Kompas mengingat-ingat nama-nama pendukung Wisudo yang menyebut diri dosen, ilmuwan dan peneliti itu. Untuk selanjutnya mereka tidak diwawancarai dalam bentuk apapun, baik lisan, tertulis, SMS, serta tidak menerima siaran pers mereka (juga tidak memuat opini mereka!).

"Sampai mereka sadar bahwa yang mereka musuhi adalah jalan yang benar," kata Pak NAS.

Postingan Pak NAS ini antara lain mendapat tanggapan dari rekan Robert Adhi Kusumaputra (KSP), Anton Sanjoyo (JOY), Bambang Wahyu (BW), dan Hendry Ch Bangun (HCB). BW bahkan meminta daftar mereka yang menyebut diri dosen, ilmuwan dan peneliti itu.

"Kalo ada narasumber yang tak mau diwawancarai Kompas, ya cari yang lain saja. 'Kan banyak orang pandai di republik ini. Cari yang lain dan "besarkan" mereka. Masih banyak kok yang mau. Yang tak mau diwawancarai, ya black-list saja. Gitu aja kok repot, Pak Haji...," kata KSP menjawab postingan Pak NAS.
"Saya usul nama-nama itu dimuat juga di Buletin KITA, supaya semua unit di KKG mencermati hubungan dengan mereka. Entah disebut boikot atau apa, tetapi saya kira dalam istilah di Betawi, kalau ada yang jual, kita mah berani beli. Warkot siap mendukung. Gitu!" tekan HCB, bos Warta Kota.

Berikut daftar anggota "Petisi dari Para Sahabat" (dikeluarkan 20 Desember 2006) yang wajib kita waspadai dimanapun kita berada:

1. Adriana Elisabeth (P-2P LIPI)
2. Hargyaning Tyas (P-2P LIPI)
3. Tri Ratnawati (P-2P LIPI)
4. Sarah Nuraini Siregar (UI)
5. Afad Lal (Universitas Budi Luhur)
6. Sri Nuryanti (RIDEP)
7. Retno Handini (Budpar)
8. Hamdan Basyar (P2-P LIPI)
9. Syafuan Rozi (Dosen IISIP Jakarta)
10. Djoko K (PMB-LIPI)
11. Heru Cahyono (P2P LIPI)
12. Ikrar Nusa Bhakti (P2P LIPI)
13. Jaleswari Pramodhawardani (PMB-LIPI)
14. Thung Julan (PMB-LIPI)
15. Tri Nuke Pudjiastuti (P2P-LIPI)
16. Johan Azhar (P2P LIPI)
17. Riwanto Tirtosudarmo (PMB LIPI)
18. Anas Saidi (PMB LIPI)
19. Asvi Warman Adam (P2P LIPI)
20. Ary (UMB)21. Arfan (UMB)
22. Ferdi (Orientasi UMS)
23. R Siti Zuhro (P2P LIPI/The Habibe Center)
24. Ranni (P2P LIPI)
25. A Iriwati (P2P LIPI)
26. Mardyanto Wahyu T (P2P LIPI)
27. Ganwati Wuryandari (P2P LIPI)
28. Dewi Fortuna Anwar ( LIPI)
29. Usmar Ismail (LKN)
30. Tiur (Kabar)
31. BB (Didaktika)
32. Budi (Didaktika)
33. Nadya (LPM Diamma)
34. Sasmito (Transformasi)
35. Irham (Didaktika)
36. Dessi Rosdiana (LPM Diamma)
37. Y Roza (Didaktika)
38. Yohanes R (LPM Diamma)
39. M Yamin (Sekjen Serikat Nelayan Merdeka-Sumut)
40. Syahril (LPM Orientasi UMB)
41. Rachma (LPM Orientasi UMB)
42. Sari (Didaktika)
43. A Fauzan (Orientasi)
44. Realisti (LPM Diamma)
45. Jendra S (Orientasi)
46. Anggri (LPM Diamma)
47. Imah (Diamma)
48. Agnes (LPM Purnama)
49. Mail (Front Perjuangan Pemuda Indonesia/FPPI)
50. Dan Dan N (KSR Garut)51. Uhyana (STRIP)
52. Dkol (FPPI)
53. Ramly SY (FPPI)
54. Emots (FPPI Garut)
55. Ripan (FPPIGarut)
56. Awing (FPPI arut)
57. Adam (LPKL-G)
58. Agung Purnama (FPPI Garut)
59. Iwan Gunawan (FPPI Garut)
60. S Son (FPPI Garut)
61. Iwan M (FPPI Garut)
62. Bagas Adi (LS Garut)
63. Asep Saepuloh (BR Garut)
64. Iip T Poniman (FPPI Garut)
65. Ferry Shidarta (FPPI Garut)
66. Irmawan (FPPI Grt)
67. Ru Renjay (Perhimpunan Rakyat Pekerja/PRP)
68. Dudung (PRP)69. Ndaru (PRP)
70. Fajar (FPPI Garut)
71. D Rosada (FPPI Garut)
72. Irwan Dani (FPPI Banten)
73. Marudut S (FPPI Medan)
74. Rahmat Pasau (PN FPPI)
75. Sahat (PN FPPI)
76. Wahyu R (Aji Jakarta)
77. A Bambani (serikat pekerja detk.com)
78. Alfa (PRP)
79. Irianto I Susilo (LBH Apik)
80. Lily (Serikat Buruh Migran)
81. Beno W (KASBI)
82. Aditya Wardhana (AJI Jakarta)
83. Nining E (GSBM KASBI)
84. Sultoni (Serikat Pekerja Madani Indonesia)
85. S Heri Dniyanto (Serikat Pekerja Madani Indonesia)
86. A Irwansyah (Serikat Pekerja Madani Indonesia)
87. Parsudi (Serikat Pekerja Madani Indonesia)
88. Katarina Pujiastuti (FNPBI)
89. U Idris (AJI Jakarta)
90. Hari Nugroho (AJI Jakarta)
91. Pembina Karos (AJI Jakarta)
92. Wahyu Dhyatmika (AJI Jakarta)
93. Edy Haryadi (AJI Jakarta)
94. HM Siringo Ringo (LBH Pers)
95. M Zainuri (Lativi)
96. Sholeh Ali (LBH Pers)
97. Nadya (LBH Pers)
98. Putri Asri (LBH Pers)
99. Hermina (LBH Pers)
100. Agus Randani (LBH Pers)
101. M Halim (LBH Pers)
102. Hendrayana (Direktur LBH Pers)
103. Yanti (LBH Jakarta)
104. Edy H Gurning (LBH Jakarta)
105. Melda Kumalasari (LBH Jakarta)
106. Kiagus Ahmad (LBH Jakarta)
107. Gatot (LBH Jakarta)
108. Uni Illian M (LBH Jakarta)
109. Heru (LBH Jakarta)
110. Virza (LBH Jakarta)
111. Totok Yulianto (LBH Jakarta)
112. Putri Kanesia (LBH Jakarta)
113. Hermawanto (LBH Jakarta)
114. Ori Rahman (Ketua Presidium Kontras)
115. Wilson (Praxis)
116. Mugiyanto (Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang/IKOHI)
117. Mutiara Pasaribu (IKOHI)
118. Simon (IKOHI)
119. Nelly Yarti S (IKOHI)
120. Ibeth (IKOHI Jakarta)
121. Dyan Setyawati (IKOHI Jakarta)
122. Nanung H (IKOHI)
123. Pheo (IKOHI)
124. Indri (Kontras)
125. Usman Hamid (Kordinator Badan Pengurus Kontras)
126. A Patra M Zen (Direktur YLBHI)
127. Astuty Liastianingrum (YLBHI)
128. Tabrani Abby (YLBHI)
129. Taufik Basari (YLBHI)
130. Hendrik Dikson Sirait (ANBTI)
131. Asfinawati (Direktur LBH Jakarta)
132. Sri Nurherwati (LBH Apik-Jakarta)
133. Dian Tri Irawaty (UPC)
134. Romy Leo Rinaldo (YLBHI)
135. Fr Yohana T Wardhani (LBH Apik)
136. Gatot Eko Y (Offstream)
137. Winurantho Adhi (AJI Jakarta)
138. Odie Hudiyanto (Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri/FSPM)
139. Abdullah (Elshinta TV)
140. Abdul Manan (Sekjen AJI Indonesia)
141. Ruhut Ambarita (Kabar)
142. Indri Saptorini (TURC)
143. Anggri Sugiyanto (LPM Diamma)
144. Anastasya A (pelanggan Kompas)
145. Saeful Tavip (Ketua Dewan Penasehat OPSI)
146. Dewi Fitriana (Sekretaris FSPM)
147. Mona B (KHRN)
148. Stefanus Felix Lamuri (AJI Jakarta)
149. Eriek (Teknora Universitas Lampung)
150. Bakhtiar Yusuf (TURC)
151. U. N. Yusron (AJI Indonesia)
152. Hadi Rahman (Internews)
153. Sutarno (AJI Jakarta)
154. Jajang Jamaludin (Ketua AJI Jakarta)
155. Jhonson Andrian (Somasi-Unas)
156. Sella P.G. (LPM Diamma-Universitas Mustopo)
157. Agus Rakasiwi (Ketua AJI Bandung)
158. Nugroho Dewanto (AJI Indonesia)
159. Eko Maryadi (Kord. Divisi Advokasi AJI Indonesia)
160. Kili Pringgodigdo (AJI Indonesia)
161. Mundo (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia/KASBI)
162. Eka Pangulima H (KASBI)
163. Marno (SBSI)
164. Budi Wardoyo (Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia/FNPBI)
165. Ilham Syah (Ketua Umum Serikat Buruh Transportasi Perjuangan
Indonesia/SBTPI)
166. Eli Salomo (Aliansi Buruh Menggugat/ABM)
167. Sultoni (Serikat Pekerja Madani Indonesia)
168. Chandra W (Front Perjuangan Serikat Buruh Jabotabek/FPBJ)
169. Aries Sutan K (FPBJ)
170. Eni Sriwahyuni (Federasi Serkat Buruh Membangun Indonesia/FSBMI)
171. Lily Pujiati (Serikat Buruh Migran Indonesia/SBMI)
172. Dudung (AJI Surabaya)

Sunday, February 18, 2007

Hati-hati KOMPAS Palsu!


Usul: Kompas Pasang Iklan dan Bentuk “LBH”




Dikarenakan akhir-akhir ini ada ada sementara pihak yang mengaku melek hukum tetapi malah melecehkan hukum itu sendiri, misalnya seenaknya menggunakan kata “Kompas” untuk tujuan-tujuan tertentu, kami mengusulkan agar manajemen Harian Kompas memasang iklan peringatan atas kemungkinan penyalahgunaan nama “Kompas” tersebut.

Seperti kita ketahui, DPR pernah tertipu menerima sekelompok massa yang menamakan diri KOMPAS. DPR mengira bahwa Harian Kompas memecat karyawannya secara massal. Padahal kita ketahui bersama, yang dipecat hanya seorang wartawan. Demikian juga Disnaker Jakarta, yang kemungkinan terkecoh atas nama KOMPAS ini.

Pemecatan di berbagai institusi pers sudah seringkali terjadi. Bahkan yang dipecat bukan hanya seorang wartawan, tetapi pemecatan sejumlah wartawan. Akan tetapi sejauh itu, sebagaimana pernah diungkapkan anggota AJI Ging Ginanjar, dampak yang ditimbulkannya tidaklah seheboh pemecatan seorang wartawan Kompas. Tidak ada gerakan, tidak ada demo, tidak ada intimidasi kepada institusi media massa yang melakukan pemecatan massal tersebut!

Tetapi mengapa itu terjadi pada Harian Kompas? Ya, karena sebagai institusi besar, Harian Kompas rawan akan pemerasan! Segala cara untuk memeras akan dilakukan, apalagi menemukan momentumnya seperti saat ini.

Mengingat nama Harian "Kompas" mudah diselewengkan, mungkin juga untuk tujuan pemerasan terhadap sumber-sumber kredibel dengan mengatasnamakan “wartawan” Kompas, kami mengusulkan manajemen Harian Kompas untuk memasang iklan peringatan di berbagai media, media massa cetak maupun elektronik, agar masyarakat hati-hati menerima permintaan atau desakan dari sekelompok massa yang menamakan diri KOMPAS.

Kami juga mengusulkan kepada relawan-relawati wartawan/karyawan Kompas untuk mendirikan sebuah lembaga nirlaba bernama Lembaga Bantuan Humor (disingkat "LBH"). Tujuannya tidak lain untuk menghibur, membuat senang, membuat 'ngeh' sebagian warga masyakat yang belum tercerahkan, warga yang selama ini tahunya memonopoli kebenaran saja.

Friday, February 16, 2007

PKK Tempel Pengumuman


Tirani Minoritas!

PENGURUS Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) akhirnya mengumumkan secara resmi perpanjangan kepengurusannya selama enam bulan ke depan. Artinya, isu yang selama ini beredar bukan isapan jempol belaka. Pengumuman menggunakan kop kertas resmi PKK dengan mencantumkan kedelapan pengurusnya, tetapi tanpa dibubuhi tanda tangan.

Seperti umumnya pengumuman seserius apapun di lantai III redaksi, tidak lepas dari corat-coret kreatif wartawan. Biasanya bernada simpati, guyonan, sampai makian. Tetapi untuk pengumuman PKK ini, coretan kebanyakan pertanyaan-pertanyaan satir. Kebebasan siapa yang mencoret dijamin sedemikian rupa, sehingga coretan Ketua PKK Syahnan Rangkuti yang menulis kata "HAJAR!" pun bisa disaksikan bersama.

Coretan lain berbunyi: "TIRANI MINORITAS", "BUBARKAN PKK!", "CULAS!!", "ENDASMU!", "EMANGNYA LO SIAPA?", "MAKSUD LOOOO???", "TIDAK SETUJU PERPANJANGAN!", "KAYAK MAHKAMAH AGUNG", dan lain-lain (lihat foto di atas).

Ada juga coretan yang ditujukan kepada pribadi-pribadi pengurus yang tidak perlu disebutkan di sini. Pengumuman itu bertanggal 6 Februari2007, dihasilkan dari Rapat Pleno Pengurus PKK.

Selengkapnya pengumuman itu berbunyi:

KEPUTUSAN

Dengan mempertimbangkan masih adanya:

Persoalan-persoalan penting yang menjadi tanggung jawab pengurus PKK periode 2005-2007 yang belum terselesaikan sehingga belum memungkinkan diadakannya rapat anggota luar biasa untuk mengubah AD/ART serta diselenggarakannya pemilihan pengurus baru secara adil,

Sesuai perhitungan bahwa persoalan-persoalan tersebut dapat diselesaikan dalam tempo enam bulan,

Maka pengurus secara aklamasi memutuskan memperpanjang masa kerja Pengurus PKK Periode 2005-2007 maksimal enam bulan sesudah keputusan ini dibuat.

Selama masa perpanjangan masa kepengurusan ini pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas mendorong agar masalah-masalah yang terjadi saat ini diselesaikan melalui dialog damai yang diadakan secepat-cepatnya.

Jakarta, 6 Februari 2007

1. Luhur Fajar
2. Anung Wendyartaka
3. Adi Prinantyo
4. Syahnan Rangkuti
5. Arbain Rambey
6. Salomo Simanungkalit
7. P Bambang Wisudo
8. Doty Damayanti

Tuesday, February 13, 2007

Demi Kebenaran Hakiki

Mukadimah:
SERUAN wartawan Kompas ini merupakan lanjutan dari postingan 30 Januari 2007 lalu bertajuk "Demi Kebenaran". Seperti diketahui bersama, seruan yang dimotori Bre Redana, Efix Mulyadi, dan Maria Hartiningsih itu menuai protes dari organisasi yang menamakan diri LBH Pers dan Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM). Kedua organisasi itu meminta klarifikasi dari ketiga wartawan senior Kompas atas kata "pertualangan" yang ada pada seruan, bahkan meminta batas waktu segala. Lihatlah, sepertinya negara ini milik mereka saja. Bikin seruan saja tidak boleh, meminjam kata "petualangan" saja reaktif, padahal mereka mendemo Kompas menggunakan kata-kata makian yang sangat tidak pantas diucapkan oleh orang-orang yang katanya intelek dan terpelajar. Tentu saja Bre dan kawan-kawan tidak harus menjawab, karena kata "petualangan" itu tidak ditujukan kepada siapapun secara spesifik. Lain soal kalau mereka merasa atau mengaku apa yang sedang dan telah mereka lakukan adalah benar sebuah "petualangan", baru dijawab!

Moderator


Seruan Wartawan Kompas (Lanjutan)


72. Bambang Sigap Sumantri
73. Khairina Nasution
74. Tjahja Gunawan Diredja
75. AW Subarkah
76. Edna Caroline Pattisina
77. Rakajran Sukarjaputra
78. Agnes Aristiarini
79. Trias Kuncahyo
80. M Subhan SD
81. A Wisnu Nugroho
82. Hendry CH Bagun
83. Suhartono
84. J Waskita Utama
85. Fajar Marta
86. Retno Bintarti
87. M Hernowo
88. Prasetyo Eko
89. Thomas Pudjo
90. Ichwan Susanto
91. Wisnu Widiantoro
92. Dwi Bayi Radius
93. M Hilmi Faiq
94. Lis Dhaniati
95. Yulianus Harjono
96. A Joice TS
97. A Maryoto
98. Subur Tjahjono
99. Fransisca Romana
100. Nasrullah Nara
101. Andi Suruji
102. Frans Sarong
103. Samuel Oktora Batarede
104. Benny Dwi Koestanto
105. Khaerul Anwar

Seruan Wartawan Kompas (Sebelumnya)

1. Efix Mulyadi
2. M. Nasir
3. Budi Suwarna
4. Mh Samsul Hadi
5. Maria Hartiningsih
6. Frans Sartono
7. Hamzirwan
8. Hermas E Prabowo
9. Luki Aulia
10. Pascal S Bin Saju
11. Amir Sodikin
12. Hariadi Saptono
13. Nawa Tunggal
14. Dahono Fitrianto
15. Ida Setyorini
16. Mulyawan Karim
17. Fandri Yuniarti
18. Gunawan Setiadi
19. Nur Hidayati
20. Susi Ivvaty
21. Osa Triyatna
22. Chris Pudjiastuti
23. Kenedi Nurhan
24. Orin Basuki
25. Tiur Santi Oktavia
26. Banu Astono
27. Bre Redana
28. M Suprihadi
29. Iwan Ong
30. Ninuk Mardiana Pambudy
31. Haryo Danardono
32. Tonny D Widiastono
33. M Clara Wresti
34. Fitrisia M
35. Brigitta Isworo Laksmi
36. Danu Kusworo
37. Jimmy S Harianto
38. Lusiana Indriasari
39. Myrna Ratna
40. Agus Mulyadi
41. Agus Hermawan
42. Diah Marsidi
43. Neli Triana
44. Windoro Adi
45. Irving Noor
46. Yesayas Octavianus
47. Yulia Sapthiani
48. Caesar Alexey
49. Arbain Rambai
50. Pingkan E Dundu
51. Pepih Nugraha
52. Anton Sanjoyo
53. Abun Sanda
54. Sri Hartati Samhadi
55. Dirman Thoha
56. Jannes Eudes Wawa
57. Putu Fajar Arcana
58. M Yuniadhi Agung
59. Dedi Muhtadi
60. Bambang Wahyu
61. Elly Roosita
62. Ambrosius Harto
63. Ardhian Novianto
64. Agnes Sweta Pandia
65. Muhammad Bakir
66. Yunas Santhani Azis
67. Muhammad Syaifullah
68. Gatot Widakdo
69. Buyung Wijaya Kusuma
70. Anwar Hudiono
71. R Adhi Kusumaputra


NB:
Seruan Karyawan Kompas dipelopori Heru Sudarwanto dengan mencatatatkan diri sebagai penyeru nomor satu.

Sunday, February 11, 2007

Jaring Pendapat


Siapa Aniaya Siapa?

Seperti yang dilansir Tri Agung Kristanto (TRA) bahwa Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) memperpanjang masa kepengurusannya --beberapa rekan telah menanggapi langkah perpanjangan kepengurusan PKK di bawah kepemimpinan Sahnan Rangkuti dalam postingan sebelumnya-- rupanya isu itu bukan isapan jempol belaka. Blog KompasInside memperkuat dugaan itu dengan menyatakan, perpanjangan kepengurusan itu semata-mata menyikapi "Seruan Wartawan Kompas" yang digagas Bre Redana dan Efix Mulyadi.

"Keputusan itu diambil secara aklamasi dalam rapat pengurus PKK hari Selasa (6/2) petang kemarin di Gedung harian Kompas. Perpanjangan itu berlaku enam bulan sejak kepengurusan PKK berakhir tanggal 28 Februari 2007. Dengan demikian, kepengurusan PKK masih memakai formatur pengurus lama sampai akhir Agustus 2007," demikian Kompas Inside dalam postingan, Kamis (8/2) .

Jika isu perpanjangan kepengurusan itu benar, ada kesalahan berpikir serius di sini, atau barangkali logika yang "jumpalitan" tidak karukaruan. Atas pemecatan Paulus Bambang Wisudo, misalnya, isu yang dilempar ke publik oleh pendemo profesional adalah: manajemen Kompas berusaha memberangus serikat pekerja yang di Harian Kompas bernama PKK.

Selama ini Kompas, baik manajemen maupun karyawannya, tidak pernah menangkis serangan dan plintiran ini. Diam. Pasif, kecuali lewat "seruan" itu. Akan tetapi, keputusan memperpanjang kepengurusan itu sendiri sesungguhnya merupakan jawaban atas pertanyaan mereka sendiri: bahwa PKK itu ada, tidak diberangus, dan bahkan masih akan terus dinikmatinya. Buktinya? Ya, perpanjangan kepengurusan itu tadi!

Ibarat menuding "ya" (pemberangusan PKK), tetapi kemudian dibantah sendiri dengan mengatakan "tidak" (mengakui eksistensi PKK dengan memperpanjang kepengurusan). Kesalahan berpikir yang serius, bukan? Atau justru dengan cara-cara logika jumpalitan seperti inilah para profesional itu bekerja?

Hanya saja, hati-hati dengan perangkap perpanjangan kepengurusan ini. Pengurus tentu tidak akan mengatakan ini sebagai "diktator", "sewenang-wenang", atau "gila kekuasaan", tetapi "bagian dari perjuangan". Ini pancingan lain dari apa yang disebut "total war". Sekali salah melangkah, kita akan terseret dan terbawa arus pusaran yang ditebar. Punya pendapat atau komentar lain? Jika ya, klik comments di bawah postingan ini atau kirim ke imel blog:
insidekompas@yahoo.com.

Moderator

Friday, February 9, 2007

PKK Perpanjang Masa Jabatan? (1)


Mukadimah:

Tiba-tiba mencuat isu bahwa Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) yang diketuai Sahnan Rangkuti bermaksud memperpanjang masa kepengurusannya. Isu dilemparkan Tri Agung Kristanto (TRA) yang kemudian mendapat tanggapan dari sejumlah rekan. Tetapi, isu juga sudah bocor keluar dan ditulis di milis sebelah. Tanggapan lain yang belum termuat di sini menyusul segera.

Moderator

Perpanjang Jabatan, Tanya Kenapa?

Postingan Tri Agung Kristanto:
Syahnan dan pengurus PKK Yb, saya mendengar informasi masa jabatan pengurus PKK periode 2005-2007 yang akan berakhir akhir bulan Februari ini diputuskan diperpanjang, melalui rapat pleno pengurus hari Selasa, 6 Februari 2007. Benarkah? Mungkin bisa dijelaskan alasannya?

Salam, TRA

Tanggapan Ninuk Mardiana Pambudy:
Sahnan yang baik, sebagai anggota PKK saya rasa saya berhak untuk mengetahui apakah benar pengurus memperpanjang masa kepengurusannya, dengan alasan apakah, dan melalui mandat apa, untuk berapa lama perpanjangan itu? Alangkah baiknya bila AD/ART PKK di-posting di sini supaya tidak ada kesimpangsiuran mengenai PKK yang katanya milik semua karyawan Kompas.Terima kasih.

NMP

Tanggapan Bambang Setiawan:
Mengapa tidak dibentuk saja sebuah organisasi buruh Kompas yang baru? Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada keharusan di dalam satu perusahaan cuma ada satu organisasi buruh. Atau kalau memang ada, aturan itu sungguh sudah demikian dalam menyihir kita. Tiadanya organisasi alternatif yang bisa menjembatani kepentingan karyawan dengan manajemen, membuat organisasi yang ada cenderung memiliki posisi tawar yang sangat tinggi. Dan, bahkan, karena nasib semua karyawan dipertaruhkan pada pengurus sebuah organisasi, maka yang terjadi adalah kekuasaan elite organisasi menjadi demikian besar.

Elite organisasi, dengan kultur oligarkinya, memang tidak selalu sejalan dengan kemauan massa (karyawan). Di mana-mana begitu (hampir seratus tahun lalu, tepatnya 1911, Robert Michels sudah mengemukakan "hukum besi oligarki" ini), terlebih kalau hanya ada organisasi tunggal di dalam satu bidang kehidupan. Kecenderungan politisasi kepentingan pribadi oleh elite hanya bisa dikurangi atau diredam apabila ada organisasi tandingan yang lebih dekat menyuarakan kepentingan massa/buruh.

Salam, BST
(salam kenal, sorry udah lama gak ikutan)

Tanggapan Dahono:
Kalau informasi (yang sebenarnya sudah saya dengar sejak lama desas-desusnya ini) benar, bahwa pengurus PKK yang sekarang secara sepihak memperpanjang masa baktinya sendiri (logika dari mana?? Presiden saja kalo sudah 5 tahunya harus mengembalikan mandatnya ke MPR, meski kerjanya belum rampung), maka saya orang pertama yang akan menggunakan hak sebagai anggota PKK untukmenyatakan TIDAK SETUJU.

Saya sebagai salah satu karyawan Kompas, tidak mengakui adanya pengurus PKKyang sudah habis masa baktinya. Apa pun yang dilakukan pengurus PKK demisioner ini saya anggap sudah tidak mewakili aspirasi saya sebagai anggota PKK, dan saya minta dalam setiap keputusan dan tindakan apa pun dimasa depan, pengurus PKK harap tidak mengatasnamakan saya sebagai anggotaPKK. Demikian pernyataan resmi saya. Kalau dirasa kurang resmi, saya siap membuat surat pernyataan di atas meterai.

Jakarta, 7 Februari 2007
DHF

Tanggapan Kembali Tri Agung Kristanto:
Setuju dengan posting Anda, monopoli memang membuka peluang terjadinya oligarki. Saya juga melihat adanya kecenderungan politisasi kepentingan pribadi oleh elite, termasuk dalam tubuh Perkumpulan KaryawanKompas (PKK). Terbukti, pertanyaan saya tentang betulkah ada keputusan perpanjangan masa jabatan pengurus PKK periode 2005-2007, yang seharusnya berakhir 28 Februari ini dan saat ini mestinya dilakukan pemilihan pengurus baru, belum dijawab juga. Padahal, bertanya dan memperoleh penjelasan adalah hak anggota, kalau kita masih dianggap dan merasa menjadi anggota PKK.

Justru mengejutkan, penjelasan tentang perpanjangan masa jabatanpengurus PKK itu muncul di
Kompasinside yang tersurat perpanjangan masa kepengurusan selama enam bukan itu, terkait permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) Sdr. Bambang Wisudo (Sekretaris PKK yang dipilih Ketua PKK dan bukan orang yang meraih suara dari karyawan dalam pemilihan 2005). Ini mungkin jawaban dari perkiraan Robert Michels, tentangpolitisasi kepentingan pribadi elite itu. Pertanyaan anggota (saya dan karyawan lain) tak dijawab, justru penjelasan muncul di halaman "tetangga".

Sedikit saya kutipkan apa yang dijelaskan di blog sebelah "Keputusan itu diambil secara aklamasi dalam rapat pengurus PKK hari Selasa petang kemarin di Gedung harian Kompas. Perpanjangan itu berlaku enam bulan sejak kepengurusan PKK berakhir tanggal 28 Februari 2007. Dengan demikian, kepengurusan PKK masih memakai formatur pengurus lama sampai akhir Agustus2007.

Menurut sumber Kompas Inside yang dihubungi Jumat (9/2/2007) ini, alasan perpanjangan kepengurusan adalah karena faktor "force majeur" terhadap PKK. Salah satunya sebuah musibah berupa pemecatan yang menimpa Sekretaris PKK Bambang Wisudo. Dan, dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PKK, memangdisebutkan bahwa pengurus PKK berhak memutuskan sesuatu untuk organisasi ini bila pengurus menganggap situasi dalam keadaan darurat."

Saya sudah membaca AD/ART PKK, tak menemukan pasal yang menyebutkanpengurus berhak memutuskan sesuatu untuk organisasi bila dalam keadaan darurat, termasuk memperpanjang masa jabatannya sendiri. Kepengurusan yang sekarang pun bukan formatur, karena pengurus inti tak dipilih oleh karyawan, kecuali Ketua dan Wakil Ketua. Juga adakah keadaan darurat di kantor ini?

Saya memperoleh informasi, perpanjangan masa jabatan pengurus itu mengacu pasal 5 ayat 4 Anggaran Rumah Tangga PKK, yang berbunyi "Dalamhal-hal yang luar biasa, pengurus menjadi wakil resmi karyawan berdasarkankeputusan rapat pleno". Adakah keadaan luar biasa di Kompas ini? Wakil resmikaryawan, bukankah selama ini PKK sudah menjadi wakil resmi karyawan? Laluapa lagi, sehingga perlu diperpanjang masa jabatan pengurusnya? Wakil resmi untuk apa lagi? Bagaimana kalau karyawan tak merasa diwakili?

Dasar hukum perpanjangan jabatan pengurus itu saya menilai sangat lemah dan mengada-ada. Tetapi, yang pasti, perpanjangan masa jabatan itu, menurut saya, melanggar AD PKK. Pasal 4 ayat 3 Anggaran Dasar PKK menegaskan, "MASA JABATAN PENGURUS BERLANGSUNG DUA TAHUN." Tak ada interpretasi lain terhadap dua tahun, kecuali itu sama dengan 24 bulan. Jadi, pengurus PKK periode ini HARUS BERAKHIR 28 Februari 2007, dan saat ini diadakan pemilihan pengurus baru.

Apalagi, selama ini, saya menilai pengurus PKK juga sudah melanggarPasal 4 ayat 2 Anggaran Dasar PKK, yang menyebutkan, "KEPENGURUSAN PERKUMPULAN KARYAWAN TERDIRI ATAS KETUA, WAKIL KETUA, SEKRETARIS, BENDAHARA,KETUA-KETUA UNIT, DAN SEKSI-SEKSI." Rasanya, sudah lebih dari setahun ini kepengurusan PKK yang dipimpin Sahnan tak memiliki Ketua-ketua Unit. Siapa Ketua Unit Redaksi, Litbang, Bisnis, SDM/Umum? Tidak ada. Pada masa lalu,mas VIK, mas RUS adalah ketua unit redaksi, Dhani (Ketua Unit SDM/Umum, yangdilanjutkan Wasyono), dll.

Jadi, tak ada jalan lain, kepengurusan PKK periode ini harus berakhir sesuai dengan tenggat waktunya. Pengurus PKK harus menggelar FORUM KLARIFIKASI dan menyiapkan PEMILIHAN PENGURUS BARU, serta menyatakan diridemisioner. Beri kepercayaan pada orang lain, kecuali ada kepentingan pribadi yang ingin ditumpangkan sebagian pengurus pada PKK, dan tidak "pede"kalau tak jadi pengurus PKK.

Saya yakin, pertanyaan dan gugatan saya ini akan dibelokan, dipelintir oleh pihak lain, bahwa manajemen Kompas berupaya menghentikan kepengurusanPKK, berusaha memberangus PKK. Saya teriak, atas kemauan sendiri, karena tak ingin PKK dipakai untuk kepentingan lain yang bukan kepentingan karyawan. Saya mencintai PKK dan KOMPAS, dan tak ingin institusi itu rusak. Itu saja... Mohon maaf, terlalu panjang....

Salam, TRA (yang tak bersedia dicalonkan jadi ketua PKK, jika pemilihan digelar, seperti diusulkan Mas Yanto)

Tanggapan Rakaryan Sukajaputra:
Terima kasih atas penjelasan Bung Tra, yang sangat jelas itu. Buat saya juga aneh kalau para pengurus PKK memperpanjang masa jabatannya sendiri, tanpa bertanya kepada para karyawan yang memilih hanya Ketua dan Wakil Ketuanya. Sedih sekali saya mendengar pengurusPKK berbuat seperti itu, karena tidak lain menunjukkan bahwa mereka semakin tidak menghargai para karyawan yang membentuk wadah itu.

Sudah saatnya para karyawan menggelar pemilihan pengurus baru, dan segera membentuk panitia pemilihannya. Saya calonkan TRA sebagai ketua panitianya karena beliau paham betulAD/ART PKK, yang tentu saja sebaiknya tidak boleh dijadikan calon apalagi pilih sebagai ketua pengurus PKK periode baru. Banyak teman lain yang lebih muda yang pantas jadi ketua pengurus PKK baru. Saya juga usul para karyawan tidak hanya memilih ketua, tetapi juga mewajibkan calon lain yang kalah suara sebagai anggota pengurus. Jadi, ketua pun tidak bisa asal pilih pengurus...

OKI

Tanggapan Muhammad Nasir:
Aku setuju dengan OKI. Perpanjangan kepengurusan PKK tampaknya hanya sebagai salah satu strategi untuk memerangi Kompas dan pendirinya. Langkah itu bagian dari "total war", istilah yang dipakai Wisudo, dalam melawanKompas. Sebagai orang yang memilih Kompas sebagai tempat berkarya, memenuhi panggilan jiwa, dan mungkin juga berkarir, rasa-rasanya tidak pantas untuk berdiam diri melihat kejadian itu. Masih ada kesempatan bertindak! Ayo kita laksanakan pilihan raya untuk PKK.

NAS

Tuesday, February 6, 2007

Surat Ging Ginanjar kepada AJI

Mukadimah:

Di tengah rumor PKK memperpanjang masa kepengurusannya dalam rapat kemarin (6/2) sore, yang implikasinya bisa ditebak sendiri, ini postingan lama yang diselundupkan Jannes Eudu Wawa ke milis Kompas. Surat otokritik dari Ging Ginanjar kepada AJI (Aliansi Jurnalis Independen) ini membuktikan, masih ada sikap rasional dari anggota AJI selain citra AJI yang kini cenderung "reaktif", "berangasan", "garang", "tukang demo", dan "politis" di mata umum. Otokritik ini sedikitnya membenarkan semua pencitraan itu, sekaligus juga masukan berharga buat AJI sebagai organisasi profesi (wartawan) yang terkemuka, setidak-tidaknya untuk saat ini.

Moderator


Sikap Kita tentang Kasus Wisudo-Kompas

Saya minta maaf tak terlibat dalam pembelaan kasus Wisudo-Kompas. Bahkan sekadar menyampaikan simpati dan dukungan pun cukup terlambat. Betapapun saya ingin menyampaikan beberapa hal.

Pertama, penghargaan kepada AJI-Indonesia maupun Jakarta, maupun kota lain, yang sangat responsif. Ketangkasan bereaksi yang harus terus kita jaga.
Kedua, ini otokritik.

Terang-terangan saja. Menurut saya, berbagai langkah politik kita -AJI, maupun koalisi organisasi untuk membela Wisudo- agak terlalu jauh. Seingat saya, sebelumnya AJI belum pernah sampai mendemo media, lebih-lebih untuk kasus perburuhan individual begini. Paling banyak, kita membuat pernyataan, atau mencoba mencari solusi dengan perundingan. Kalau mentok, kita masuk ke jalur hukum. Bahkan untuk urusan yang sangat politispun, AJI seingat saya tak pernah mendemo media.

Ketika eks Tempo anti Bob Hassan menolak Gatra dan tak diberi SIUPP untuk Berita/Opini, kita terlibat dalam aksi boikot Gatra yang diprakarsai Arief Budiman. Namun tak pernah mendemo Gatra. Yang pernah didemo, justru Rendra, karena terlibat dalam suatu acara Gatra.

Ketika sejumlah media menzalimi anggota AJI di awal-awal keberadaan organisasi ini, kita juga tidak sampai melakukan aksi massa. Misalnya ketika Imran Hasibuan disingkirkan Forum, lebih-lebih dalam "golden shakehand" Kompas-Satrio dan Yudha.

Ketika banyak media memblokade pemberitaan tentang AJI, kita tak berunjuk rasa. Ketika sejumlah media mendukung PWI dan Harmoko dan Orde Baru dalam mengkriminalkan AJI, kita juga tak mendemo mereka. Ketika ada bos media yang melarang wartawannya agar tidak jadi anggota AJI, kita tak memberui reaksikeras.

Bukan karena kita waktu itu terlalu muda sebagai organisasi. Melainkan karena kita tidak ingin menciptakan musuh baru.

Sekarang, dalam kasus Wisudo -dengan segala simpati dan dukungan saya untuk Anda, Wis- menurut saya kita tengah berada di sebuah jalur cepat untuk memiliki musuh baru, kehilangan kawan dan simpati dan dukungan. Kita tidak boleh membiarkan suatu ketidakadilan terjadi. Kita tidak bisa netral mengenai Wisudo, karena dia anggota kita. Kita tak bisa cuma berpangku tangan karena kita sudah cukup dekat dengan Kompas. Tetapi kita harus menjalankannya dengan dingin, elegan, dan proporsional.

AJI harus terlibat dalam kasus ini sebagai penengah. Atau kalau sebagai pembela, arahnya untuk mencari solusi. Bukan untuk berperang. Menurut saya, unjukrasa di Kompas dan melaporkan pemrednya ke polisi, bisa ditafsirkan semacam pernyataan permusuhan. Wisudo bisa melakukan itu, para wartawan Kompas bisa melakukan itu, tapi tidak AJI. Menurut saya, AJI hanya bisa terus berbicara, berdialog dan berunding. Kalau mentok, sebagaimana seharusnya, kita proses secara hukum -yang proporsional juga.

Biarkan hukum menjadi jalan pemecahan sengketa ini, dan kita berdiri dipihak Wisudo.

Namun, untuk kesekian kalinya namun, meluaskannya ke, katakanlah, "perjuangan politik," dengan rangkaian demo dll, menurut saya terlalu jauh... dan menurut saya bisa jadi blunder besar.

Langkah itu bisa menciptakan konflik loyalitas di kalangan anggota AJI yang wartawan kelompok Kompas. Padahal jumlahnya juga masih sangat sedikit.

Kita bahkan dalam bahaya kehilangan konstituen pendukung perjuangan AJI secara umum.

Suryopratomo dan Kompas sebagai lembaga, selama ini sudah cukup dekat dengan AJI. Artinya, betapapun sulit, mestinya dialog dimungkinkan. Jangan menganggap saya mengusulkan agar kita tunduk kepada Kompas untuk membalas budi atau apa. Tidak.

Yang saya mau bilang, Kompas, Suryopratomo, dll, adalah mitra AJI, dan harus selalu dianggap sebagai mitra. Dan mungkin tidak begitu seharusnya kita memperlakukan mitra.

Dengan mitra, kita bisa berselisih, bisa bersengketa. Tetapi cara menyelesaikannya, mestinya elegan, dingin, jernih, konstruktif, danmencari solusi.

Kegarangan dan "semangat darah muda haus demo," lebih baik kita hemat untuk banyak isu lain. Banyak sekali.Kalau jalan begini yang kita tempuh, mungkin kita bisa "menang" untuk kasus itu secara individual. Namun secara luas kita bisa kalah karena kehilangan simpati dari keluarga besar media itu yang menganggap kita mempermalukan dan memusuhi mereka. Potensi itu besar.

Ini bukan pertama kalinya ada anggota AJI yang berselisih dengan tempat kerjanya. Dan ini pasti bukan merupakan yang terakhir. Kalau jalan seperti ini yang selalu kita tempuh untuk membela anggota AJI, saya kuatir kita akan kehabisan energi, kehabisan kawan dan mitra. Dan kehabisan respek juga. Karena kita akan selalu dianggap tak lebih dari organisasi anak muda berangasan belaka.

Dengan otokritik itu, saya ingin mengusulkan agar kita mengevaluasi lagi metoda pembelaan kita untuk kasus wisudo. Lebih jauh, saya menyarankan agar kita, AJI, menghentikan semua aksi politis (demo dan perang informasi dll). Dan memfokuskan perjuangan di jalan perundingan, dialog, dan hukum. Maaf kalau catatan ini bernada "discouraging". Dan nyeleneh. Maaf kalau dianggap mementahkan, dan bernada memadamkan api perjuangan.

Monday, February 5, 2007

Imbauan Pak NAS


Sebaiknya Kita Menahan Diri

Pak Paulus Bambang Wisudo memang teman kita, bagian dari kita. Daging yang terbentuk dan darahnya yang mengalir dalam tubuhnya masih berasal dari rezeki Kompas, meski hasil keringat dia juga.


Seperti tubuh kita juga. Maaf saya menyinggung soal ketubuhan. Hidup bersama Kompas belasan tahun tidak sedikit lho. Bisa dikatakan hubungan Kompas-Wisudo sudah mendarah-daging, kalau dilepas bisa kedagingan. Sakitnya bukan main. Makanya Wisudo tampaknya masih sulit melepaskan Kompas, masih selalu teringat, masih ingin bersama kita berkarya di Kompas.


Akan tetapi, Wisudo telah menempuh jalan yang ”merusak”, menjelek-jelekkan Kompas yang telah menjadi ”rumah kedua” bagi ribuan karyawan yang rata-rata sudah mendarah-daging juga dengan Kompas. Mereka (karyawan) bisa marah. Di antara mereka pasti ada yang marah. Cuma kemarahan itu jangan sampai berubah menjadi aksi pukul, aksi lempar, dan berbagai jenis penganiayaan lainnya.


Untuk menghindari semua itu, sebaiknya Pak Wisudo tidak lagi menjelek-jelekkan Kompas baik di jalanan maupun di depan kantor Kompas. Takut di antara kita ada yang tidak bisa menahan diri. WE DON'T WANT TO BREAK THE LAW!

Abah USH Bicara



DPR dan Disnaker Tertipu KOMPAS Palsu!

Sampai nama kelompok saja mereka memalsukannya. Singkatan Komite AntiPemberangusan Serikat Pekerja menjadi "KOMPAS" tentu saja dicari-cari dan ada maksudnya. Dengan integritas dan kredibelitas Kompas sesungguhnya, mereka dengan mudah mendapat akses-akses kemana-mana. (Di lapangan, tidak sedikit wartawan amplop yang mengaku-ngaku sebagai wartawan Kompas untuk mempermudah menemui narasumber, dan memerasnya).

Saya dengar Komisi IX DPR juga tertipu dengan ini. Mereka pikir yang akan mengadu adalah wartawan Kompas, eh, ternyata kecele! Makanya tidak ada lagi kelanjutan cerita sejak kelompok itu mengadu. Boleh jadi Kepala Dinas Tenagakerja DKI Rusdi Mukhtar juga mengalami hal serupa, makanya dia menerima kelompok mereka.

Sunday, February 4, 2007

Plintiran Berbuah Makian


Mukadimah:

Dalam pengantar untuk postingan "Surat Wisudo Buat Wartawan Kompas", terdapat kata pengantar dari blog Kompasinside yang kembali menggunakan "plintiran fakta" yang bikin decak kagum siapapun, kecuali mereka yang mampu berpikir rasional. "Plintiran" itu berbuah makian dari salah seorang blogger yang memberi komentar di postingan 3 Februari 2007 tersebut. Surat Wisudo itu sendiri sudah diselundupkan oleh LuhurFajar Martha ke milis karyawan Kompas dan mendapat tanggapan banyak pihak. Berikat kami postingkan catatan blog sebelah untuk pengantar Surat Wisudo, makian dari seorang blogger (H Supriatna), serta tanggapan sejumlah wartawan/karyawan atas surat selundupan tersebut.


Moderator


Pengantar "Surat Wisudo"


(Ctt: Setelah Seruan Wartawan Kompas muncul, seperti diduga, mobilisasi dukungan yang dilakukan oleh kelompok Suryopratomo Cs dilakukan. Mereka yang tidak mau tandatangan dipojokkan, seolah-olah mereka "musuh" Kompas. Akan tetapi ada sedikit wartawan Kompas yang masih bertahan tidak mau ikut mobilisasi gombal-gombalan itu. Tidak diketahui apakah dalam situasi intimidatif mereka bisa bertahan dan tetap selamat. Di tengah histeria itu, Bambang Wisudo diminta oleh beberapa orang di dalam Kompas yang masih bisa berkepala dingin untuk menulis. Maka Bambang Wisudo menulis respon atas "Seruan Wartawan Kompas" ini pada Senin (29/1/2007) malam. Akan tetapi di antara mereka masih berdebat siapa yang akan memosting ini di milis karyawan. Akhirnya surat Bambang Wisudo di posting, Rabu (31/1/2007) siang. Mudah-mudahan wartawan Kompas yang mendukung manajemen untuk memberangus serikat pekerja di harian terbesar itu segera kembali memperoleh rasionalitas, humanisme, dan bisa mendengar hati nuraninya. Berikut surat Bambang Wisudo yang dikirim untuk kawan-kawannya di Kompas...).


Komentar Blogger atas Pengantar "Surat Wisudo"


Anda bener-bener lihai dalam memutar balikkan fakta yang ada, di balik atas demokrasi anda berlindung dari kebusukan demi kepentingan diri anda. Hanya orang yang bodoh yang percaya atas semua bualan-bualan yang anda tulis. Mari kita bertindak secara bijak dalam melihat persoalan dalam dua sisi yang berlawanan antara Wisudo dan Kompas untuk mendapatkan kebenaran yang Nyata. Saya yakin kebenaran yang akan menenggelamkan anda "Wisudo".


Komentar Pascal SB Saju atas Surat Selundupan


E, wis, aku kagum etos perjuangan dan keteguhan pendirian mu, tetapi tidak pada cara-caramu, dan pelintiran2 mu.


Komentar Arbain atas Surat Selundupan


Wis, aku udah bosan dengan pelintiran2mu......


Komentar Anwar Hudijono Surat Selundupan (sudah diposting sebelumnya)


Dialog memang cara yang elegan. Dulu pun saya menyarankan demikian. Tetapi, dialog menjadi tidak diperlukan terhadap orang atau pihak yang memang tidak punya itikad baik.Niatnya memang mengajak hancur-hancuran. Sejak awal sudah menyimpan tekad untuk TOTAL WAR. Cenderung mau menang sendiri. Tidak noleh githoke dhewe. Katanya demokrasi, tetapi ketika demokrasi tercermin melalui representasi suara karyawan lantas dituduh sebagai rekayasa manajemen.Dengan melihat latar yang begitu, siapapun akan berpikir berulang kali untuk membuka jendela dialog. Jangan-jangan kalau ada kesediaan dialog nanti dipelintir sebagai sikap lemah, mulai ngeper, keder,takut. Biarkan saja berkoar-koar di luar. Nanti kalau strumnya habis lak mblerek dhewe. Tanpa bermaksud menggurui, salah satu prinsip manajemen itu harus tegas dan konsisten. Kembali ke Lap....lapangan sepak bola.


Tanggapan Muhammad Nasir atas Surat Selundupan


Oke, kita hormati semua pendapat, termasuk yang berseberangan sekalipun. Tapi jangan ada pelintiran-pelintiran dan penyesatan publik. Pelintiran bukan gaya Kompas. Dari mana asal muasalnya Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja tiba-tiba disingkat menjadi KOMPAS? Dari namanya saja, terlihat ada niat tidak baik, mencatut nama KOMPAS. Sudah berapa orang terkecoh!


Tanggapan Tri Suaji atas Surat Selundupan


Bagaimana caranya kita membela perusahaan tempat kita mencari nafkah ini agar sdr. Wisudo & rekans juga tidak menganggap kita/Kompas berbuat melintir dan penyesatan publik? Kalau kita diam saja dan mereka terus2an melakukan demo dan sejenisnya, apakah kita akan runtuh? Kenapa kita mesti gerah dengan jurus2nya? Saya rasa tim (Manajemen dan legal) Kompas dalam menghadapi kasus ini juga tidak tinggal diam. Tim pasti sudah punya jurus2nya. Tim tersebut pasti piawai, sehingga tidak seperti orang yang baru belajar silat, yang sebentar2 memperagakan jurus yang baru dipelajari. Kita memang harus mendukung, tetapi dengan cara yang Kompas. Kita percayakan pada Tim Kompas. Kalau kita malah teriak2 mengeluarkan jurus2, malahan jurus2 itu akan terbaca oleh khalayak, atau bahkan misalnya kalau jurus itu tidak tepat justru akan membuat terpeleset. Memang kita perlu klarifikasi kepada khalayak, yang tentu caranya beda dengan cara2 mereka seperti selama ini, tetapi dengan cara dan pendekatan ala Kompas. Toh masih banyak sekali relasi2 kita yang masih memandang Kompas. Saya percaya diantara rekans kita banyak yang piawai menyampaikan/klarifikasi/pendekatan kepada relasi2 Kompas. Maaf rekans, saya hanya menyampaikan pendapat saya tetapi sungguh dengan tidak bermaksud menggurui. Kalu mungkin, mari kita beri semangat dan percayakan kepada Tim Kompas. Biarkan pendemo melakukan aksinya sampai kapanpun, toh kita tidak bisa melarang. Biar mereka memelintir dan melakukan penyesatan publik yang mereka anggap benar. Yang pasti, nanti 'siapa akan percaya pada siapa'. Ini semua juga tergantung pendekatan dan cara kita, juga keyakinan akan kebenaran kita. Kemudian lagi, sekarang kita akan menganggap sdr. Wisudo & rekans sbg sesuatu yang menakutkan dan akan meruntuhkan kita, atau menganggap sebagai ular 'koros' (ular yang menghadapi lawannya dengan terus menerus mendesis, yang akhirnya terkulai lemas sendiri), atau akan menganggap sebagai sparring-partner ? Mari kita tanggapi dengan cara yang tidak sama dengan mereka. Pinjam merk dagangnya Thukul Arwana, "Silent please.....", dan percaya kepada Tim Kompas.Sekali lagi maaf, dan tidak bermaksud menggurui. Salam.

Saturday, February 3, 2007

Kisah dari Blog Sebelah


Mukadimah:

Rekans, di milis kita masih berlangsung pernyataan pro dan kontra atas pemecatan Paulus Bambang Wisudo. Simpati dan antipati, kecaman maupun dukungan kepada manajemen, juga masih kita temukan. Hal yang wajar dalam demokrasi. Akan tetapi, mari sejenak kita lakukan "gencatan kata-kata" pro-kontra itu. Kita simak upaya penghancuran Kompas secara sistematis dan tanpa henti dari pihak-pihak yang memang menghendaki lembaga ini binasa melalui blog sebelah. Pemutarbalikan dan "plintiran" fakta secara lihai, penggiringan opini publik, dan hasutan-hasutan yang mereka lakukan, bisa saja dianggap sekaligus ditangkap masyarakat umum sebagai suatu kebenaran. Kita simak bersama berita blog sebelah secara utuh...

Moderator


Tindak Anti-Union Manajemen Kompas Segera Diusut


Jakarta, Kompas Inside. Kepala Dinas Tenagakerja DKI Rusdi Mukhtar, Kamis (1/2/2007) petang, menyatakan akan membentuk tim khusus untuk mengusut tindak anti-serikat pekerja (anti union) yang dilakukan manajemen harian Kompas.


“Saya tidak main-main. Anda lihat disposisi yang saya buat,” ujar Rusdi. Dia lalu menunjukkan surat berwarna kuning ke 20 lebih anggota Komite Anti Pemberangusan Serkat Pekerja (KOMPAS) yang memenuhi ruang rapat yang cukup lapang di lantai II Gedung Disnakertrans DKI.


Rusdi sendiri ditemani oleh Kepala Sudin Perselisihan Perburuhan Sumanto, Kepala Sudin Pengawasan, dan beberapa staf lainnya saat menerima rombongan Komite.


Penegasan Rusdi dilontarkan setelah ia paham, bahwa pemecatan Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) Bambang Wisudo disebabkan oleh kegiatan wartawan senior ini sebagai aktivis serikat pekerja.


Sebab, Bambang Wisudo adalah pendiri di PKK. Dan, dalam AD/ART PKK yang didirikan sejak tahun 1998, memang sudah ditegaskan bahwa amanat karyawan harian Kompas adalah untuk mengklarifikasi keberadaan saham kolektif 20 persen milik karyawan. Saham ini diwariskan PK Ojong sebelum wafat pada tahun 1980.


Tahun 1984, aturan saham karyawan ini kembali ditegaskan oleh Keputusan Menteri Penerangan No 1/1984 tentang saham kolektif karyawan sebesar 20 persen sebagai syarat memperoleh Surat Ijin Usaha Penerbitan Surat Kabar (SIUPP).


Menurut Rusdi, mutasi hingga pemecatan yang dialami Bambang Wisudo akan disidik. “Dinas Tenaga Kerja tidak punya kepentingan apa-apa. Kalau ada indikasi pegawai saya nakal, saya minta laporkan saya. Saya akan tindak dengan tegas,” tegasnya di depan stafnya, termasuk Rindjan Saragih.


Rusdi menyampaikan hal ini untuk menanggapi adanya diskriminasi perlakuan antara pengusaha dan pekerja di Disnakertrans DKI. Dalam kasus ini, proses PHK yang diajukan manajemen Kompas ke Bambang Wisudo diproses dalam tempo kurang 10 hari. Sementara pengaduan Komite tentang tindak anti-union manajemen Kompas sempat diterlantarkan sampai satu bulan. Sampai-sampai tim litigasi Komite yang dikomandani Sholeh Ali harus mengirim surat sebanyak 5 kali.


Menurut Rusdi, dalam pasal 4 ayat 2 (f), sudah jelas ditegaskan, bahwa salah satu tugas pengurus serikat pekerja adalah “memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.” Maka, pengurus serikat pekerja tidak boleh dijatuhi sanksi. Seperti dimutasi, apalagi di-PHK.


Dalam rapat klarifikasi itu, dari Komite ikut hadir Saeful Tavip dari OPSI, Direktur LBH Pers Hendrayana, Astuty Lystianingrum dari YLBHI, Sekjen AJI Abdul Manan. Juga hadir LBH Jakarta, ANBTI, dan beberapa aktivis pers mahasiswa.


Sementara itu, dalam perkembangannya, jumlah penandatangan Petisi Dari Para Sahabat terus bertambah. Lucunya, hal ini terjadi walau wartawan Kompas telah mengeluarkan ‘kebulatan tekad’ untuk mendukung manajemen harian Kompas memberangus aktivis serikat pekerja. (rig/E2)


Sumber: Kompasinside, postingan 1 Februari 2007