Monday, March 26, 2007

Aji Mumpung AJI


"O-Te"

KALA Soeharto berkuasa, wartawan wajib menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), satu-satunya organisasi profesi wartawan yang diakui pemerintah. Di luar itu, selain haram hukumnya, juga harus menghadapi kematian sejak dalam kandungan. Harmoko, menteri penerangan sejak 1983 yang mantan Ketua PWI, adalah penjaga gawang pers yang kelewat sadis, sehingga apa yang termuat di media massa adalah hasil dari saringannya.

Untuk itulah, salut kita serukan pada para pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang berani mendobrak benteng tirani rezim saat itu dengan mendirikan organisasi profesi wartawan di luar PWI. Tekanan demi tekanan dari penguasa pasti datang dengan sendirinya. Majalah bawah tanah "Independen", majalah yang dicari-cari saat itu khususnya pascabreidel Tempo, Editor dan Detik.

Salut diberikan pada pendirinya yang gagah berani. Dari Kompas, tercatat nama Satrio Arismunandar (RIO) dan Dhia Prakesa Yudha (DPY) sebagai pendirinya, plus beberapa simpatisan lainnya. Mereka berani menyatakan keluar dari Kompas, setelah mendapat kompensasi tentunya, atas perjuangannya itu. Pendeknya, salut diberikan kepada mereka, sekaligus kepada organisasi profesi wartawan yang mereka dirikan, AJI.

Tatkala Soeharto tumbang dan rezim datang silih berganti, nyatalah bahwa AJI memetik hasil dari perjuangannya itu. Ia menjadi organisasi wartawan yang tiada tandingnya. PWI tenggelam dengan sendirinya, meski tetap eksis di bawah kepemimpinan Tarman Azzam. AJI menjulang sendirian, menenggelamkan organisasi-organisasi profesi wartawan lainnya. AJI kini di bawah kepemimpinan.... (maaf tidak tahu), masih berkibar di atas langit dengan seruan-seruannya.

Bedanya, dulu seruan AJI menyejukkan dan memberi solusi, sekarang seruan AJI lebih mirip provokasi, beropini, memelintir fakta, tunduk pada kehendak seseorang, dan membuat seruan sepihak tanpa berupaya mengecek ulang, yang hakikinya kewajiban wartawan untuk melalukan cover both side. Bukankah organisasi ini beranggotakan wartawan-wartawan hebat yang seharusnya tahu "hukum" pers yang paling dasar itu.

Ambil contoh kecil saat AJI meng-condem bahwa satuan pengamanan (Satpam) Kompas "memiting", "meringkus", dan "membopong" Paulus Bambang Wisudo, wartawan Kompas yang dipecat dengan tidak hormat, yang tidak pernah menghubungi Satpam Kompas. AJI begitu percaya kepada ocehan mulut satu orang, langsung membuat pernyataan provokatif, menyulutkan Total War, yang justru sangat berkebalikan dengan semangat AJI selama ini yang mengusung "peace journalism". Dimana sekarang jurnalisme damai diletakkan saat Total War langsung dimuntahkan?

Saat ditanyakan kepada Satpam Kompas yang katanya "memiting" dan "meringkus" Wisudo, jawabnya hanya senyum dikulum saja. Salah seorang di antara Satpam itu bilang, "Si Wisudo itu pinter main sandiwara, wong dia menjatuhkan dirinya sendiri lalu teriak-teriak seakan-akan dianiaya, padahal kita mencoba menyuruhnya berdiri. Tetapi tidak mau dan meronta-ronta seperti anak kecil. Ya kita boponglah."

Main sandiwara? Itulah bahasa Satpam. Barangkali bahasa kerennya adalah "happening art", sebuah seni teatrikal yang biasa dimainkan pendemo di jalan-jalan. Main sandiwara tentu saja bermakna pura-pura, bukan kejadian sesungguhnya. Kita tentu tidak akan menemukan pernyataan Satpam dengan puluhan saksi di koran-koran, di blog, atau media lainnya (rekaman video kelak mungkin akan menjelaskan secara gamblang hal ini). Yang ada hanyalah pernyataan Wisudo sepihak. Dan, itulah yang dijadikan kesimpulan banyak orang, termasuk AJI, membawa kata kunci "penganiayaan" ini kemana-mana, menjualnya demi menarik simpatik massa, sekaligus mengibarkan bendera Total War.

Padahal, tidak ada asap kalau tidak ada api. Ambil contoh kecil lagi yang tidak pernah terungkap. Beberapa saat sebelum pemecatan berlangsung, Wisudo mengundang puluhan aktivis untuk mengadakan pertemuan di Gedung Kompas. Tidak ada bahasa, tidak ada cerita, apalagi sopan-santun kepada pengelola gedung untuk meminta izin, meski memang saat itu Wisudo masih tercatat sebagai karyawan Kompas. Bayangkan, dimana sopan-santun diletakkan oleh seorang terpelajar dan hero seperti Wisudo? Memangnya Gedung Kompas itu punyanya? Punya mbahnya? Lalu dengan seenaknya dia menempelkan selebaran dimana-mana, di seluruh lantai di Gedung Kompas.

Cobalah AJI belajar berempati, lantas sesekali menempatkan dirinya sebagai Satpam (bukan sebagai wartawan yang hebat?). Sebagai Satpam, apa yang Anda akan lakukan ketika menghadapi ulah seseorang seperti Wisudo di tempat yang menjadi tanggung jawab Anda. Membiarkan dia seenaknya menempelkan selebaran? Membiarkan satu atau beberapa ruang kantor itu untuk diduduki tanpa izin sebelumnya? Atau menegurnya sesuai kapasitas Anda? Jika yang ditegur tidak mau, berontak dan menjatuhkan dirinya sendiri (happening art?), apa pula yang Anda akan lakukan. Membiarkan dia meronta-ronta seperti anak kecil di tengah keramaian suasana kerja?

Mestinya, sebagai organisasi profesi wartawan yang sudah berada di atas angin dan nyaris tanpa ada saingan berarti, AJI (atau orang-orang AJI), sering-seringlah melakukan advokasi sehingga menarik simpatik banyak wartawan berbagai media massa untuk masuk menjadi anggotanya, bukan malah melakukan provokasi dan menghasut.

Tidak pernah AJI bayangkan, hampir seluruh wartawan Kompas dan wartawan media massa lainnya yang segrup dengan Kompas, langsung antipati terhadap AJI (kecuali simpatisan Wisudo), dimanapun AJI berada. Bagaimanapun, setiap individu yang bergabung dalam komunitas tertentu (baca Kelompok Kompas Gramedia/KKG), memiliki l'esprit de corps, semangat kelompok, sendiri-sendiri secara alamiah. Ketika kelompok itu ditekan dan dihina, memang menghasilkan beberapa personil yang cuwek, tidak mau tahu, dan merasa bukan urusannya.

Tetapi ingat, dari kelompok ini juga akan menghasilkan orang-orang "fundamentalis", yang siap bertahan dengan seluruh jiwa-raga tatkala rumah tempat mereka bernaung diserang lawan. Dengan semangat kelompok itu pula, di dalam kelompok KKG kita bisa mengibarkan semangat boikot terhadap apapun yang berbau AJI. Tengoklah kenyataan beberapa kali Biro Kompas di Yogyakarta bahkan sampai ke Toko Buku Gramedia yang didemo anggota AJI. Menyakitkan.

Ini sungguh menciptakan antipati yang luar biasa. Subyektivitas kita sebagai kelompok mengatakan: memangnya kita tidak bisa melakukan hal seperti AJI? (mesti tentu saja norak).

Lembaga-lembaga manajemen, diklat, rekrutmen, sumberdaya manusia Kompas dan kelompoknya, bisa saja kita provokasi agar tidak memberi tempat kepada AJI dan organisasi-organisasi pendukungnya. Setidak-tidaknya, kita jadikan AJI sebagai "OT" (baca "O-Te") alias organisasi terlarang bagi mereka yang berada di bawah naungan KKG. Sebagai "OT", kita bisa melakukan "sweeping", setidak-tidaknya pendataan terhadap orang-orang KKG yang telanjur menjadi anggota AJI. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah.

Kita bisa menekan manajemen, diklat, rekrutmen dan sumberdaya manusia di seluruh KKG agar ke depan tidak lagi memberi jalan kepada AJI dan kelompok pendukungnya. Yang sudah telanjur masuk AJI, kita bina dari dalam dan mengupayakan mereka kembali ke jalan yang benar.

Memang, tidak ada cara lain selain memberi pelajaran (baca pembalasan) dengan cara itu, meski terasa norak. Anggap saja ini pembalasan terhadap perlakuan AJI yang sudah kelewat batas: menyakitkan hati ribuan orang hanya untuk menyenangkan satu orang saja!

Friday, March 23, 2007

Surat Terbuka CAN


Mukadimah:
Saat segerombol pendemo berunjuk rasa di depan Gedung Kompas Gramedia, tampil antara lain sebagai penyampai pesan Paulus Bambang Wisudo. Ternyata, pernyataannya bahwa dia pernah ditawari perusahaan uang pesangon sampai 20 tahun, yang berarti kurang lebih Rp 2,3 miliar dengan asumsi gaji per bulannya Rp 9,5 juta, memancing tanggapan sejumlah wartawan. Salah satunya adalah dari Putu Fajar Arcana (CAN), Wakabiro Kompas di Yogyakarta, yang menyilakan suratnya di milis interen Kompas, dimuat dan disebarluaskan di blog ini. Berikut isi suratnya:

Surat untuk WIS

ADUH Wis, makin hari kamu kok makin brutal begini. Seandainya pun benar kami yang bertanda tangan dan menyebutmu sebagai petualang, itu melanggar hak asasi manusia (itu tentu tuduhan paling kejam), apa bedanya dengan kamu? Dengan tuntutan yang kian tak masuk "akal orang sehat" itu, kamu makin menunjukkan siapa sesungguhnya kamu.

Terus terang pada awal kasus ini bergulir aku "sempat" bersimpati atas perjuangan dan keberanianmu memperjuangkan apa yang menurut kamu pantas diperjuangkan. Tapi semakin hari kamu semakin lepas kendali. Dan sekarang, semuanya menjadi liar.

Aku semakin tidak mengerti apa sesungguhnya yang kamu cari? Dalam dirimu ada paradoks besar, yang barangkali tak pernah kamu sadari. Tuntutan minta dipekerjakan kembali di Kompas, kendati mungkin ini sebatas mengukuhkan posisi tawarmu pada perusahaan, juga tak bisa kupahami.

Bagaimana mungkin seseorang yang mengecap perusahaan ini berkhianat dan gembar-gembor di jalanan agar orang memboikot Kompas, tiba-tiba ingin kembali di dalam. Di dalam sebuah perusahaan yang kamu caci-maki, yang sudah pasti menurut kamu tidak pantas untuk tempat berlindung. Pada saat bersamaan kamu juga mengecap perusahaan ini sebagai penjajah dan harus enyah dari muka bumi. Ini apa coba? Ia tidak sekadar kekerasan, tetapi sebuah kebrutalan yang diteriakkan oleh sekelompok orang jalanan.

Kalau benar perusahaan ini menginjak-injak, dalam logika paling sederhana saja, pertanyaanku, mengapa pula kamu ingin kembali? Wis, kamu tidak akan kembali sebagai pahlawan bagi saya, tetapi tikus kecil yang merengek-rengek minta dikasihani.

Cara yang kamu pakai dengan menggelar demonstrasi terus-menerus bukan saja tidak menghargai proses perundingan dan peradilan yang sedang berlangsung, tetapi jelas ini bahasa jalanan, bahasa para preman yang ingin memeras para pemilik toko. Jelas bukan cara kaum intelek, sebagaimana yang melekat selama ini pada dirimu. Jika pun kamu mengklaim bahwa demonstrasi sah-sah saja secara hukum, tetapi sebagai orang yang bekerja dan bergelimang dalam dunia intelektual, tidakkah cara-cara ini merendahkan dirimu? (Saya tidak tahu apakah kamu masih mempedulikan soal-soal ini).

Paradoks lainnya, dengan tuntutan pesangon sebanyak 20 tahun (kira-kira nilainya Rp 2,5 miliar), dengan syarat lain tidak dipecat tapi diminta mengundurkan diri bersama-sama TOM, hanya mencoreng perjuangan intelek yang selama ini kamu gembar-gemborkan. Sangat berbau materialistik.

Tidak salah jika aku mengecapmu sebagai "pejuang" materialis yang berkedok "intelek". Sungguh patut disayangkan, kamu mencoreng arang muka sendiri.... Seandainya pun perusahaan "mengalah" dan menerimamu kembali, barangkali banyak kawan yang bakal melemparmu kembali ke jalanan, karena memang di situ tempatmu...

Wednesday, March 21, 2007

Pembajakan Nama KOMPAS


Hati-hati Penipuan!

TERKAIT dengan pencatutan nama KOMPAS akhir-akhir ini, kami mengingatkan agar semua pihak hati-hati dengan kehadiran segelintir orang yang menamakan diri KOMPAS, yang mendatangi sumber/narasumber, lembaga swasta, lembaga legislatif, atau instansi pemerintah dengan maksud menipu bahkan memeras, bukan untuk meliput atau memperoleh berita.

Setiap wartawan Harian Kompas dalam menjalankan tugasnya selalu dilengkapi identitas berupa kartu wartawan, kartu nama Harian Kompas
, maupun ID Card perusahaan. Berbagai identitas profesional itu bisa diminta untuk ditunjukkan setiap saat, jika sumber/narasumber ragu atas keberadaannya.

Terima kasih.



Monday, March 19, 2007

2806 Karakter (5)

Pesangon Rrruaaarrr... Biasa!

KAMIS, 15 Maret 2007 siang, Gedung Kompas Gramedia di Jalan Palmerah Selatan 26-28 Jakarta kembali didatangi seratusan pengunjuk rasa dari berbagai elemen, khususnya elemen buruh. Inti dari keinginan pengunjuk rasa adalah agar Kompas memperkerjakan kembali seorang wartawannya yang dikeluarkan perusahaan, Paulus Bambang Wisudo, dan mengecam Kompas yang katanya telah melakukan union busting (tuntutan ini pasti salah alamat).

Tentu saja yang paling membetot perhatian adalah tampilnya WIS, demikian Wisudo biasa dipanggil, di atas mobil terbuka untuk berpidato. Salah satu hal yang menarik perhatian adalah pernyataannya, bahwa ia ditawari manajemen Kompas pesangon 20 tahun yang kemudian ditolaknya. WIS baru mau menerima pesangon itu kalau dia dan Pemred Kompas Suryopratomo sama-sama mundur. Tuntutan yang pasti membuat siapapun yang mendengarnya senyam-senyum.

Hitung punya hitung, kalau dia bergaji pokok Rp 9.467.000 per bulan sebagaimana terungkap dari surat Disnaker Jakarta tempo hari, maka uang sebesar itu dikalikan dengan 12x20. Maka, ketemulah angka Rp 2,3 miliar!

Sungguh, angka yang fantastis dan membuat "iri" siapapun, membuat "kagum" dan terperangah karyawan lainnya. Nakal-nakalnya karyawan berpikir, "Sudah kita ikuti saja langkah WIS dengan cara membangkang, menolak tugas, dan memobilisasi massa untuk menghina Kompas, toh nanti dapat pesangon segede raksasa."

Kalau apa yang dikatakannya benar bahwa perusahaan menawarinya 20 tahun pesangon, bisa saja karyawan lain terinspirasi oleh "heroisme" perjuangannya. Tetapi, karyawan yang masih berpikir waras, tentu saja tidak akan terpengaruh begitu saja atas pernyataan yang lebih bernuansa igauan daripada kenyataan ini, yang kemudian mengikuti langkahnya.

Uang pesangon selama 20 tahun yang sebesar Rp 2,3 miliar dan diucapkan di depan massa, tentulah membuat para pengunjuk rasa berdecak kagum: betapa baik hatinya sebuah perusahaan yang namanya Kompas. Hem, kemana ya bakal larinya sebagian dari uang sebesar itu?

Ah, itu kalau benar ada, itu kalau benar perusahaan bakal memberinya 20 tahun pesangon, sebuah rekor besaran pesangon yang luar biasa dan sangat layak masuk MURI.

Tidak ada kata lain, mari ikuti kejutan-kejutan atas pernyataan-pernyataan lainnya dari aksi-aksi massa yang mungkin akan terus berlanjut, sampai mereka bosan sendiri.

Memang saat setiap unjuk rasa berlangsung di depan Gedung Kompas Gramedia, sementara karyawan yang turut menyaksikan unjuk rasa bergumam: "Kita balas saja dengan unjuk rasa serupa di sini, unjuk rasa menolak kehadiran WIS di perusahaan ini meski manajemen memperkerjakannya kembali, memangnya cuma mereka saja yang bisa unjuk rasa!"

Tidak usahlah, tidak usah demo dibalas demo, unjuk rasa dibalas unjuk rasa. Sebab kalau itu yang dilakukan, apa bedanya kita dengan para pengunjuk rasa? Bukanlah lebih baik dibiarkan begitu saja demo berlangsung. Tonton sajalah. Anggap saja itu hiburan gratis, sebab banyak di antara mereka yang punya bakat sebagai orator, dan bahkan aktor.



Monday, March 12, 2007

Penolakan Itu

Nurani Bicara

PADA akhirnya nuranilah yang bicara. Seruan itu akhirnya datang juga: tolak!

Penolakan itu terkesan sangat tidak manusiawi, seakan-akan tidak menghormati hukum. Tetapi, dimana nurani diletakkan ketika dengan santainya kaki melangkah memasuki sebuah kantor yang sebelumnya sudah nyaris dia "bakar" dengan seisi penghuninya yang telanjur kena caci-maki, dihina, dan direndahkan?

"Kalau saya BAMBANG WISUDO alias WIS: SAYA AKAN MERASA SANGAT-SANGAT-SANGAT MALU UNTUK BEKERJA LAGI DI KOMPAS. SAYA KOK MERASA SENIOR, tetapi MENGHINA KOMPAS. IYA, SAYA PANTAS MALU..." Demikian kata Pascal (CAL) menanggapi "kemenangan" Wis di Disnaker.

Luki Aulia (LUK), wartawan muda yang mengaku gumun dengan gaji pokok Wisudo yang hampir Rp 10 juta/bulan itu berteriak... "Waaaa, lha ya panteslah berjuang keras masuk sini lagi... lha wong gajinya itu lho...ya ampyuuunn... mau doooooong... hehehe..."

Robert Adhi KSP yang mengaku rakyat biasa cinta damai menulis: "Saya masih tidak habis pikir pada jalan pikiran Wisudo. Jadi, sungguh aneh jika dia diterima lagi di Kompas, yang sudah dia jelek-jelekkan sampai seantero dunia. Bacalah LabourStart.com, bacalah dotcom-dotcom lainnya yang bisa diakses siapapun di seantero bumi ini. Kalau dia diterima di Kompas lagi, jangan-jangan seisi Kompas ini dia 'bakar' lagi, dia provokasi lagi, dia racuni lagi".

Rizal Layuck (ZAL) menulis: "Kalo maksa terus, artinya Wisudo memiliki KEPRIBADIAN GANDA? Pertama, gak tahu malu, hipokrit dan senang melihat orang susah (smos). Negara hancur karena petinggi negara, provinsi dan kota/kabupaten kini berpribadi ganda, bukan hanya di Kompas lho!"

Memang sulit membayangkan seseorang yang sudah menyumpahi dan meludahi perusahaannya sendiri, memobilisi massa untuk membangun opini negatif dan kampanye hitam tentang perusahaan tempat dia bekerja, serta merendahkan pegawai kecil seperti Satpam, bisa melenggang masuk gerbang perusahaan.

Lantas ia duduk manis di atas kursi kerja, kursi yang sebelumnya nyaris dia "bakar" dengan seisi kantornya, lantas menerima gaji pokok Rp 10 juta (plus tunjangan lainnya) perbulan. Kalau begini caranya, mungkin benar apa yang dikatakan LUK bahwa dia masih sayang dengan gaji yang diterimanya tiap bulan itu?

Seandainya ada perusahaan lain yang bisa menggaji WIS lebih besar dari jumlah itu, barangkali ia tidak harus menggalang massa untuk menghina perusahaan tempat dia pernah bekerja, dan ironisnya agar bisa kembali masuk bekerja. Sayangnya, TIDAK ADA satu pun perusahaan pers YANG SUDI menampungnya bekerja, apalagi harus membayar dengan gaji sebesar itu. Sebab, hanya perusahaan pers yang tolol saja yang mau menerima dia bekerja!

Sekarang, perlawanan sebagian besar karyawan terhadap "kemenangan"-nya di Disnaker mulai menggelinding. Opini mau tidak mau harus dilawan opini. Itu hukum alam. Bagi perusahaan, tidak ada kata lain selain terus FIGHT, jangan menyerah dan jangan mengabulkan permintaan dia agar kembali masuk bekerja, kecuali kalau perusahaan ini tidak mau menghargai dan menghormati ribuan karyawannya!

Imbauan HCB

Minta "Legowo"

BAGI tuan-tuan atau nona yang masih punya kontak dengan Wisudo, tolong sampaikan pesan ini. "Wisudo, sudahlah. Anda itu sudah menjelek-jelekkan perusahaan di luar, sudah memaki-maki pimpinan sendiri kok masih mau gabung?

Kalau tidak salah Anda pernah menyebut KKG itu kapitalis gendut yang cuma mau cari untung, tidak memperhatikan karyawan dsb. Logikanya, Anda tidak akan mau lagi dong kerja di tempat yang tidak sesuai dengan idealisme Anda.

Meskipun itu mungkin hak (?) sebagaimana dianjurkan oleh panitia perselisihan Disnaker, sebaiknya Anda legowo saja. Mana enak kerja di tempat yang Anda tidak diterima oleh (sebagian besar) rekan kerja lain.

Salam dari Hayam Wuruk,
Markas WARKOT yang heboh tapi damai
Oplah mulai konsisten di atas 190.000

HCB

Catatan Moderator:
postingan bisa tampil di sini setelah meminta izin HCB

Saturday, March 10, 2007

2806 Karakter (4)

"Kemenangan" Akibat Tekanan

PUTUSAN Disnaker yang "memenangkan" Paulus Bambang Wisudo disambut dingin oleh mayoritas karyawan Kompas. Milis karyawan yang biasanya antusias menghadapi isu-isu hangat, juga sepi-sepi saja. "Kemenangan" itu jauh-jauh sudah dapat diduga karena Disnaker tidak akan tahan menghadapi tekanan masif massa. Dalam keadaan tertekan seperti ini rasio pun akhirnya bisa terkalahkan.

Putusan keharusan memperkerjakan kembali Wisudo harus dijawab oleh pihak perusahaan, begitulah kira-kira isi putusan Disnaker itu.

Sesungguhnya apa yang diputuskan Disnaker itu hanya sebatas second opinion saja, bukan putusan yang mengikat. Benar, putusan itu akan dijadikan bahan "penguat" di pengadilan oleh pihak yang memenangkan "sengketa" di Disnaker. Akan tetapi, perjalanannya masih sangat jauh.

Tentu saja landasan atau argumen yang dikemukakan Disnaker sangat lemah, yakni berdasarkan Undang-undang No 21 Tahun 2000, bahwa mutasi tidak dibenarkan terhadap karyawan yang kebetulan saat ia dimutasi (atau dipecat), sedang menjadi pengurus serikat pekerja.

Titik lemah itu ada di sini, bahwa Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) BUKAN sebuah serikat pekerja. Ia hanyalah sebuah PAGUYUBAN karyawan yang tidak harus didaftarkan ke Disnaker atau bahkan Depnakertrans.

Karena BUKAN serikat pekerja, seluruh karyawan tidak punya kartu anggota serikat pekerja, tidak punya kewajiban iuran bulanan, dan tidak setiap ada sengketa harus berhubungan dengan paguyuban yang kebetulan bernama PKK. Kami, karyawan, biasanya menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan, dengan pimpinan, dengan para pemegang saham, atau bahkan dengan pemimpin tertinggi perusahaan.

Adakah aturan atau perundang-undangan yang mengatakan bahwa perusahaan TIDAK BOLEH atau DILARANG memutasikan/memecat karyawan yang kebetulan sedang menjadi pengurus paguyuban? Tolong tunjukkan!

Rusdi Mukhtar selaku Kepala Disnaker DKI Jakarta mungkin "miss" dengan kenyataan ini karena tidak bisa berpikir rasional lagi akibat tekanan massa dan opini publik. Bahwa Peraturan Perusahaan sudah kadaluwarsa dua tahun, mengapa Disnaker tidak mengingatkan hal itu sejak awal? Bukanlah sudah kewajiba bagi Disnaker memiliki data seluruh karyawan/buruh di seluruh perusahaan di DKI Jakarta, sekaligus mengingatkan "kelalaian" setiap perusahaan yang belum memperbarui peraturan perusahaannya?

Tentu saja "kemenangan" itu bukan akhir dari segala-galanya. Bagi segelintir karyawan yang simpati terhadap "perjuangan" Wisudo, ini dijadikan tonggak peringatan agar perusahaan tidak semena-mena dalam memecat karyawannya, sebab hal itu bisa saja terjadi pada setiap karyawan. Itu baik. Hanya saja yang harus diingat, tidak akan ada asap api kalau tidak ada api. Hanya manajemen gila dari sebuah perusahaan tolol yang tiba-tiba memecat karyawan yang penuh dedikasi dan tekun bekerja.

Bagaimanapun, karyawan harus tunduk pada aturan perusahaan. Khususnya bagi wartawan, sejak awal sudah harus menandatangani kesediaan dipindahkan/dimutasikan dimanapun.

Jika seseorang mampu menolak penugasan/penempatan, tentulah orang itu sangat luar biasa. Dia bukan karyawan biasa sebagaimana karyawan umumnya. Mungkin dia punya saham, mungkin dia pendiri perusahaan, mungkin dia anggota keluarga dari pemilik perusahaan. Kami yang punya harga diri, kalau memang mau menolak penugasan, kami akan keluar dari perusahaan itu dan mendirikan usaha sendiri meski hanya sekadar perusahaan sandal jepit!

Pada akhirnya kita bisa menemukan "orang'orang yang luar biasa" ini di suatu perusahaan; mereka bebas menolak tugas dan menolak mutasi dengan bersandarkan pada aturan atau perundang-undangan yang tidak ada. Pada akhirnya, orang seperti ini bisa saja diterima kembali bekerja, menerima gaji utuh sebagaimana sekarang meski tanpa harus mengeluarkan keringat setetespun.

Akan tetapi dalam kesehariannya, ia harus berhadapan dengan karyawan yang merasa dihinakan (karena memobilisir orang luar), dengan karyawan kecil seperti Satpam yang sudah dinistakan sampai ke titik nadir, juga dengan sebagian besar karyawan yang pada dasarnya ingin merasakan ketentraman bekerja, bukan terperangkap dalam politisasi segelintir orang yang jelas-jelas punya agenda untuk menghancurkan perusahaan ini dari dalam.

Tuesday, March 6, 2007

Desakan Pemilihan Ketua Baru

Bertambah, Penandatangan Penolakan Perpanjangan Kepengurusan PKK

PENANDATANGAN penolakan sebagian pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) memperpanjang masa kepengurusannya terus bertambah. Sampai Selasa (6/3), penandatangan mencapai 126 dan kemungkinan akan terus bertambah.

Selagi penandatanganan terus berjalan, beberapa karyawan menyurati pengurus PKK (hasil perpanjangan) yang menghendaki segera dibentuknya kepanitiaan untuk memilih Ketua PKK yang baru. Respons dari Ketua PKK (hasil perpanjangan) Syahnan Rangkuti, positif, dimana dikehendaki adanya pertemuan untuk membicarakan hal ini.

Inilah sebagian karyawan yang menolak adanya perpanjangan kepengurusan PKK periode 2005-2007:

1. M Nasir
2. Tjahja Gunawan
3. Agus Mulyadi
4. Adhi KSP
5. Ardus M Sawega
6. Bestari
7. Kartika
8. Galih Smarapradhipa
9. Nur Adji
10. FX Sukoto
11. Teguh Candra L
12. Rosdiana
13. Lusia
14. Retmawati
15. Amin Iskandar
16. Septa Inigopatria
17. Dimas Tri A
18. Didie SW
19. JITET
20. Agus Juliadi
21. Hamzirwan
22. Andi Suruji
23. Windoro
24. Mulyawan Karim
25. Caesar Alexy
26. Mh Samsul Hadi
27. Yesayas O
28. A. Tomy T
29. Luki Aulia
30. Myrna Ratna
31. Rakaryan S
32. Diah Marsidi
33. Fransisca Romana
34. Pepih Nugraha
35. Jannes Eudes Wawa
36. Hariadi Saptono
37. Yuni Ikawati
38. Orin Basuki
39. J. Osdar
40. Banu Astono
41. Setiawan
42. Shofian
43. Brigitta Isworo L.
44. Yunas Santani Aziz
45. Tri Agung Kristanto
46. Mohammad Bakir
47. Antonius Agoeng Priyanto
48. Anton Sanjoyo
49. Tri Harijono
50. Djoko Pournomo
51. Ansel Da Lopez
52. Danu
53. Dahono Fitrianto
54. Irving R Noor
55. Engelinia RK
56. Dian Wulandari
57. Sri Pudjiastuti
58. Bambang Triyono
59. Siti Heras S
60. Dina
61. Titi
62. Nathalia Maria Ayu
63. Abun Sanda
64. H. Irafati
65. Prasetyo EP
66. Budiman Tanurejo
67. Nawa Tunggal
68. Heru Sudarwanto
69. Toto Sihono
70. Dedi Muhtadi
71. D Irianto
72. Bambang Wahyu
73. Tarsius Surono
74. M Syaifullah
75. Tonny D. Widiastono
76. Huli S
77. Fitrisia M
78. Agus Hermawan
79. Kenedi Nurhan
80. Purwoko
81. Anton Sanjoyo
82. Nasrullah Nara
83. Ester Lince Napitupulu
84. Pascal S Bin Saju
85. Susi Ivvaty
86. Iwan Santosa
87. HAR
88. BRE
89. IBRA
90. FAN
91. Sumarnoto
92. Winduadji B
93. Widodo TR
94. AWE
95. Bambang Setiawan
96. Susi Berindra
97. WID
98. NMP
99. Nanie Irene
100. Andreas Maryoto
101. Subur Tjahjono
102. Yovita Arika
103. Winarto H
104. Sugihandari
105. Femedia Tino
106. Budiawan Sidik.
107. Atok Risaptoko
108. Ellya Novita sari
109. Dedi Isdiyanto
110. Ali Warman
111. Cerli Dahlia
112. Dwi Parlina Multatuli
113. T. Surano
114. Sri Nurhajati
115. Eko Kristiyanto
116. Petrus Biantoro
117. Suyanto
118. Djoko Pramono
119. Suyono
120. Wasyono
121. M. Cordiaz
122. Bhekti Sulistyo
123. Aritasius Sugiya
124. Chris Verdiansyah
125. Irwan Suhanda
126. Dirman Toha
.................. (bersambung)

Friday, March 2, 2007

PKK dan Serikat Pekerja


Dekatlah dengan Konstituen

KEPENGURUSAN Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) sejatinya berakhir 28 Februari 2007 pukul 24.00. Kini bergulir wacana pemilihan Ketua PKK yang baru pengganti Syahnan Rangkuti.

Ada yang menuntut sesegera mungkin dilakukan pemilihan untuk mengisi kekosongan kepengurusan. Ada yang berinisiatif menyusun jadwal pemilihan, ada pula pengumpulan tanda tangan ketidaksetujuan atas perpanjangan kepengurusan (lihat foto di atas).

Kita tahu, delapan dari sepuluh pengurus PKK memperpanjang kepengurusan selama enam bulan ke depan dengan alasan "masih ada masalah yang belum terselesaikan". Beberapa jam sebelum masa kepengurusan berakhir, tiga orang pengurus menyatakan berhenti menjadi pengurus PKK. Praktis, tinggal enam pengurus PKK (lama) yang menjalankan roda organisasi.

Sejauh ini, belum ada respons atas pengunduran ketiga pengurus itu, juga belum ada respons terhadap terkumpulnya tanda tangan karyawan. Seperti tanda tangan untuk "Seruan Wartawan" sebelumnya, tidak ada paksaan bagi karyawan untuk menandatangi "petisi" ketidaksetujuan perpanjangan itu. Demokratis saja.

Karena PKK bukan serikat pekerja sebagaimana yang didengung-dengungkan, tentu saja tidak ada pemberangusan serikat pekerja di sini, baik terhadap person (orang) maupun lembaga (serikat pekerja) itu sendiri. Sebab, memang tidak ada serikat pekerja.

Anggota serikat pekerja menurut undang-undang wajib memiliki kartu anggota, iuran, dan serikat pekerja itu sendiri terdaftar di lembaga pemerintahan. Karena PKK hanya berbentuk paguyuban, maka tidak ada iuran, tidak ada kartu anggota. Sayangnya orang-orang bingung di luar sana masih saja mengatakan telah terjadi pemberangusan serikat pekerja. Jadi, apanya yang diberangus?