Thursday, August 30, 2007

Sidang PHI Berakhir


Kompas Menang

SELAKU penggugat, PT Kompas Media Nusantara (KMN) akhirnya memenangi gugatan perselisihan pemutusan hubungan kerja melawan tergugat Paulus Bambang Wisudo (WIS) . Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Heru Pramono, Kamis (30/8), menolak eksepsi tergugat untuk seluruhnya.

Sedangkan dalam pokok perkara, sidang PHI mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menyatakan hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat telah berakhir terhitung mulai tanggal dibacakannya putusan.

Putusan sidang juga mewajibkan penggugat, dalam hal ini PT KMN, membayar kompensasi kepada tergugat uang sebesar Rp 167.408.159 (seratus enam puluh tujuh juta empat ratus delapan ribu seratus lima puluh sembilan rupiah) sesuai UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


Tuesday, June 12, 2007

Kunjungan Finalis "Indonesian Idol"


MUKADIMAH:
SENIN petang, 11 Juni 2007, tim futsal Redaksi Harian Kompas menerima kedatangan 12 inalis "Indonesian Idol" yang biasa bertarung di Balai Sarbini setiap Jumat dan disiarkan RCTI, untuk sebuah pertandingan persabahatan. Acara berlangsung meriah dan penuh persahabatan, tidak saling ngotot-ngototan memenangi pertandingan dan skor akhir 2-2. Berikut laporan singkat wartawan Kompas R. Adhi Kusumaputra (KSP) yang dimuat di
www.kompas.com dan www.pkk-kompas.com.


Indonesian Idol Bertanding Futsal di Kompas

JAKARTA, KOMPAS -Dua belas peserta Indonesian Idol hari Senin (11/6) sore ini bertanding futsal melawan tim Kompas di lapangan futsal Kompas, Palmerah, Jakarta.

Dipimpin Public Relations RCTI Hafni Sari Damayanti, 12 peserta Indonesian Idol ini bermain bergantian dengan tim Kompas, yang sebagian besar wartawan perempuan. "Kami memenuhi undangan Kompas untuk bermain futsal," kata Yanti, nama panggilannya.

Sementara Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Taufik H Mihardja mengatakan, ini kali kedua Kompas mengundang tim luar untuk bermain futsal bersama di Kompas. Sebelumnya, tim Puteri Indonesia juga tampil bermain futsal di Kompas.

Peserta Indonesian Idol adalah Rini, Gaby, Sarah, Dimas, Fandy, Wilson, Julian (tujuh besar yang masih tampil hingga Jumat 15 Juni), lalu Priska, Steve, Marsya, Gana dan Risma (lima terakhir ini sudah tereleminiasi)..

Sebelum bermain futsal, peserta Indonesian Idol menyanyikan lagu "Bendera Merah Putih", "Wow", dan "Idola Indonesia".

Tuesday, June 5, 2007

Menimbang Audio-Video



Ada “Office Boy”, ada “Office Theatre”

ADA Office Boy di kantor, itu biasa. Tetapi Office Theatre? Di rumah biasa ada Home Theatre. Tetapi Office Theatre? Apa pula ini? Apa ada istilah baru yang namanya Office Theatre?


Ah, itu sekadar istilah jadi-jadian saja. Istilah yang selintas lewat dalam pikiran, hap... lalu ditangkap, seperti cicak-cicak di dinding. Tidak ada istilah Office Theatre. Hanya saja ketika ada perlengkapan Home Theatre yang dipasang di kantor, tepatnya di balik pintu masuk utama sayap kanan lantai III Redaksi Harian Kompas, maka istilah itupun tiba-tiba muncul begitu saja.

Ini perangkat audio-video yang dikeluarkan sebuah perusahaan elektronik yang mengusung jargon “Life’s Good”, sebuah televisi plasma raksasa seukuran kira-kira 60 inches (1,5 meter), lengkap dengan sub-woofer dan enam speaker yang bisa dipasang di sekeliling ruangan untuk menimbulkan efek stereo yang nyata.

Kalau memutar film dari media DVD, terasalah kebeningan gambar dan kejernihan suaranya. Alhasil, ruangan sayap kanan depan yang terisi desk polhukam, desk opini, dan desk multimedia itu seperti tersulap menjadi theater sungguhan. AW Subarkah adalah wartawan spesialis multimedia yang menghadirkan televisi plasma raksasa itu untuk ditimbang, sementara Irwan Julianto secara sukarela menjadi “operator” yang banyak memutar film bermutu nonbajakan, plus kelompok musik kondang.

Tadi malam terjadi kehebohan tatkala kelompok Queen dengan Freddy Mercury-nya “menguncang” seisi kantor dengan lagu-lagu getasnya, classic rock. Disusul The Bee Gees yang bersuara “cempreng”, dan The Beatles yang tampil dengan gaya gipsy-nya. “When I find myself in trouble mother Marry comes to me...” lenguh Paul McCartney.

Sebelumnya juga ada Il Divo. Juga ada penyanyi solo macam Josh Groban, Andrea Boricelli, dan Santana. Belum lagi film action seperti Mission Imposible dan The Blood Diamond.

Banyak wartawan dan karyawan tertahan saat hendak pulang untuk duduk sejenak di kursi yang dijajarkan di depan televisi. Tercatat yang duduk menikmati Office Theatre itu antara lain Maria Hartiningsih, Fitrisia, Tony Widiastono, Agnes Aristiarini, dan Retno Bintarti. Belum lagi anggota tiga desk di ruangan itu yang mau tidak mau menikmati apa saja yang diputar.

Meski demikian, kerja jalan terus. Bahkan ada wartawan yang tenggelam dalam pekerjaan seakan-akan tidak pernah tahu ada keriuhan di sekitarnya!

Komentar para wartawan beragam, tetapi kebanyakan kelakar. "Wah, televisi di rumah saya malah lebih besar, sebesar dinding rumah," kata seorang wartawan. Yang lain tak tinggal diam, "Di rumah televisi begini saya pasang di halaman, biar tetangga ikut menikmati." Ada lagi, "Saya mau membeli televisi model begini, tetapi mau yang lebih besar dari ini." Yang lain, ya ketawa-ketiwi sajalah mendengarnya, selagi ketawa-ketiwi tidak dipajak!

Konon, televisi plasma raksasa itu hanya sementara saja berada di ruangan itu. Selesai ditimbang , barang harus angkat kaki. Kalau ditimbang dan dinilai, tentu tidak akan ada cacatnya. Hanya saja bagi sebagian besar karyawan Kompas, kekuarangan barang baru itu tetap ada, yaitu harganya yang tidak bisa terjangkau kocek!

Ah, namanya saja ikut menikmati, tidak harus memiliki atau membeli, bukan?

Demam Futsal




Sportif, Lalu Kreatif

BERMULA setahun yang lalu, ketika Buyung Wijayakusuma (BOY) dan kawan-kawan menggagas pertandingan futsal antardesk di lingkungan Redaksi Harian Kompas, tradisi itu terus berlanjut dan menjadi agenda tahunan di luar unit Porka yang akhir-akhir ini belum menunjukkan geliatnya. Tetapi "Futsal Fiesta" ini bukan karena unit Porka tertidur pulas, ini sekdar melanjutkan tradisi yang tampaknya mendapat tempat di hati para awak redaksi.

Alhasil, tiga hari dalam seminggu setiap sore bertanding para futsalmania mewakili desk dan unit-unit kecil di lingkungan redaksi. Mulai dari para bos besar yang duduk di meja tengah, bos menengah yang tersebar di berbagai desk, sampai unit-unit pendukung seperti office boy (OB). Setiap sore mereka bertarung di lapangan basket yang disulap jadi lapangan futsal di belakang percetakan Gramedia.

Kadang pertarungan berlangsung seru, tegang, dan beberapa tim tampil ngotot ingin memenangi pertandingan. Tetapi kebanyakan hanya fun saja, tidak terlalu seriuslah, sekadar melemaskan otot saja daripada duduk terus menghadapi komputer. Satu tim bisa bercampur antara lelaki dan perempuan. Di sinilah serunya. Penuh gelak tawa, canda dan saling ejek, saling memanas-manasi. Di lapangan, para pemain futsal berseragam kaus lengkap, plus dengan nama atau inisial di belakang kaus pemain. Soal kostum ini baru serius!

Selepas pertandingan, ada tim kreatif yang melaporkan pertandingan demi pertandingan untuk "tabloid" satu halaman dengan nama tabloid Futsale. Tata letak tabloid ini sungguh apik dan profesional, mengalahkan tabloid-tabloid olahraga pada umumnya karena digarap oleh teman-teman produksi, plus pemilihan foto atraktif di lapangan dan berita yang menggigit. Alhasil, selain berlatih untuk selalu berlaku sportif, juga berlanjut dengan unsur kreatif.

Bagi yang tidak sempat menonton pertandingan, Futsale menjadi komunikasi yang efektif, meski satu arah. Tabloid ini kemudian di tempel di tempat-tempat pengumuman atau papan informasi dan tempat-tempat strategis lainnya. Tentu saja setelah meminta izin dari pengelola gedung, tidak asal tempel poster. Ada juga "reporter sukarela" yang melaporkan pandangan mata dan dimasukkan ke dalam situs Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) berlamat di www.pkk-kompas.com. Di sini "berita" menjadi percakapan antarpelaku maupun mereka yang dipersatukan minat yang sama, futsal, karena sifatnya yang interaktif.

Tuesday, May 29, 2007

Web PKK




SETELAH kepengurusan Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) yang baru terbentuk, ketua terpilih Tjahja Gunawan, segera melancarkan berbagai program nyata, antara lain kunjungan ke Metro TV untuk mempelajari "nursery", plus melihat-lihat kemungkinan PKK membuat minimarket, juga presentasi dari orang-orang asuransi di Bentara Budaya Jakarta (BBJ).

Mengapa harus "nursery", karena dalam kampanye ada yang melontarkan perlunya perusahaan membuat tempat penitipan anak (kecil) atau bayi, agar si ibu bisa bekerja lebih tenang dan dekat dengan anaknya, daripada di rumah bersama babby sitter atau bediende. Untuk program asuransi, dijajaki kemungkinan setiap karyawan diasuransikan. Sebuah terobosan!

Hal lain lagi yang lebih nyata, PKK dengan mengandalkan Amir Sodikin dan kawan-kawan yang melek iptek, segera membuat situs web khusus PKK beralamat di www.pkk-kompas.com. Situs ini dirancang agar seluruh karyawan bisa nyaman berkomunikasi satu sama lainnya, baik antara pengurus PKK maupun anggotanya yang tersebar di berbagai daerah. Situs ini juga memuat kegiatan terakhir berkaitan dengan PKK atau berkaitan dengan kegiatan Kompas, misalnya pertandingan futsal. Bahkan ada tabloid khusus "Futsale" yang terbit setiap usai pertandingan antar desk tersebut.

Situs web PKK bisa diakses oleh umum tentunya, karena ia berada di jalur maya. Tetapi untuk membuka isinya, hanya karyawan Kompas saja yang diperbolehkan, itupun mereka yang terdaftar. Untuk mendaftarkannya, harus mengisi daftar lengkap, mulai nama diri sampai nomor induk pegawai dan di divisi mana seorang karyawan bekerja. Moderator akan meneliti keabsahan para pendaftar. Setelah disetujui, maka situs PKK itupun bisa diakses. Asyik, rasanya kita masuk ke dalam sebuah aula yang di dalamnya terisi oleh ribuan karyawan Kompas, yang kadang hanya tahu nama tetapi tidak saling kenal muka.


Tuesday, May 22, 2007

Buku Sejarah Kompas


Dari Belakang Ke Depan

SEBUAH buku telah lahir. Buku sejarah. Sejarah pers, khususnya Kompas, sebuah harian yang terbit untuk pertama kalinya 28 Juni 1965. Pendirinya adalah dwitunggal, Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama. Ojong telah meninggal 27 tahun lalu, sedangkan Jakob masih sehat wal afiat. Semoga beliau panjang usia.

Buku ini diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK). Orang menyebutnya penerbit "Kebo", merujuk pada logo perusahaan penerbitan yang berlambang seekor kerbau dimana di atasnya bertengger seorang "bocah angon" (penggembala) yang sedang meniup seruling. Kantor PBK berada di samping kiri Gedung Kompas Gramedia lama, berbaur dengan rumah-rumah penduduk.

Ada beberapa rekan yang memelesetkan PBK menjadi Penerbit Buku Kliping. Ada benarnya, sebab beberapa buku merupakan dokumentasi dari ribuan artikel yang pernah dimuat di Harian Kompas, khususnya yang memberi inspirasi dan memompa semangat dan gairah berkiprah. Tetapi tidak semua dari kliping. Ada buku-buku yang murni ditulis memang untuk menjadi buku. Ditulis secara serius, bukan hasil kliping. Salah satunya adalah buku "Kompas, dari Belakang ke Depan: menulis dari dalam". Diterbitkan baru seminggu lalu dan mungkin baru beberapa hari lewat saja menghias rak-rak toko buku.

Inilah buku sejarah Kompas terkomplit yang pernah terbit. Selain bercerita mengenai kelahirannya, buku ini juga menceritakan jatuh-bangun, kisah sukses, sampai strategi bertahannya yang unik. Frans M. Parera, salah seorang penyumbang tulisan tidak harus malu mengatakan "jurnalisme kepiting" untuk strategi bertahan Kompas yang menjadikan harian ini tetap eksis bertahan.

Saat beberapa harian diberangus penguasa Orde Baru, yakni Soeharto dan antek-anteknya yang menciptakan mesin antidemokrasi di tahun 1978, Kompas termasuk salah satu korban pemberangusan itu. Dua minggu kemudian, Jakob diminta menandatangani surat pernyataan agar Kompas tidak galak lagi terhadap pemerintah Soeharto.

August Parengkuan, seorang sesepuh Kompas dalam buku itu mengatakan, "Bagi Pak Jakob, Kompas harus terbit kembali. bukan saja agar para karyawan bisa terus bekerja tetapi yang penting tetap mempunyai medium untuk menyampaikan gagasan, pemikiran, dan ide-ide baik kepada pemerintah maupun ke masyarakat. Jadi tidak perlu gagah-gagahan seakan-akan menjuadi pahlawan karena berseberangan dengan pemerintah, tulis August, "tetapi satu minggu sesudahnya semua orang lupa pernah ada koran bernama Kompas" (hal. 298).

Sejumlah penulis memberi konstribusi dalam penulisan buku ini, antara lain St Sularto, Mamak Sutamat, Ninok Leksono, Suryopratomo, Agung Adiprasetyo, dan Arbain Rambey. Jakob memberi sambutan dalam buku ini. Buku dihiasi foto-foto lawas dari dokumentasi foto yang tidak atau belum pernah dipublikasikan. Unsur mengejutkan dan mencengangkan sudah pasti ada saat melihat foto-foto yang disunnting Arbain ini. Buku memuat pula kartun GM Sudarta yang dikenal sangat "menyentil dan mengena" itu, juga ada ilustrasi dua halaman penuh sosok PK Ojong dan Jakob Oetama karya Jitet (lihat foto di atas).

Buku ini tentu saja memberi inspirasi bagi siapapun, dari orang pers, mahasiswa, atau masyarakat umum yang ingin lebih kenal dekat Kompas. Dari buku ini kita bisa belajar bagaimana cara mempertahankan diri, penanaman karakter baik, integritas dan loyalitas, juga bisa tahu bahwa membangun sebuah kerajaan bisnis seperti yang bisa dilihat sekarang ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Perlu waktu 42 tahun untuk membangunnya. Sedangkan orang yang ingin menjatuhkan sekaligus menghancurkan Kompas, tidak perlu menunggu selama itu. Bila perlu cukup satu hari saja!

Buku ini tidak hanya wajib dibaca oleh 246 wartawan Kompas atau seluruh karyawannya yang berjumlah 953 orang (data 2007) dan kerabat serta keluarganya, juga oleh sekitar 5.000an karyawan yang bernaung di bawah bendera KKG, tetapi oleh mereka yang ingin mendalami nilai-nilai sebuah kejuangan dan semangat survive sebuah harian bernama Kompas. Tentu saja kiprah orang-orang di dalamnya; dari pendiri, pemegang saham, petinggi sampai office boy.

Monday, May 21, 2007

Kompasiana PK Ojong (1)




Jujur dan Rendah Hati

MEMILIKI salah satu sifat saja, jujur atau rendah hati, sudah sangat beruntung. Apalagi kalau memiliki kedua sifat itu sekaligus. Petrus Kanisius Ojong atau biasa disingkat PK Ojong, salah seorang pendiri Harian Kompas selain Jakob Oetama, memiliki dua sifat itu sekaligus. Setidak-tidaknya tercermin dalam kolom khususnya di awal kelahiran Kompas hingga akhir 1970-an, Kompasiana.

Secara berkala, pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juli 1920, yang bernama asli Auwjong Peng Koen itu menulis rubrik Kompasiana. Topiknya bisa bermacam-macam, tergantung dari peristiwa mutakhir pada zamannya. Mulai dari topik politik, ekonomi, pers, hukum, asimilasi, sosial kemasyarakatan, kebudayaan, persoalan kota Jakarta, sampai hal yang remeh temeh seperti tulisan mengenai ulang tahun pertama Kompas, 28 Juni 1966 di bawah ini. Kompas lahir 28 Juni 1965, yang berarti akan genap berusia 42 tahun 28 Juni 2007 nanti.

Dalam setiap kolom Kompasiana, Ojong menulis dengan gaya "staccato" -meminjam istilah musik- pendek-pendek dan seperti terputus-putus. Tidak berpretensi sedang berfilsafat dengan bahasa rumit dan kalimat beranak-cucu-cicit untuk menunjukkan kecanggihan berpikir. Bahasa yang ia pergunakan adalah bahasa tutur sehari-hari. Bukan tidak mampu berfilsafat yang kadang dipantulkan lewat rumitnya berbahasa, tetapi ia sadar betul kepada siapa sedang menyampaikan pesan. Kepada khalayak umum pembaca Kompas dengan strata pendidikan yang berbeda-beda. Maka ia memilih bahasa yang lugas, spontan, dan langsung, bahasa yang dipergunakan warga masyarakat sehari-hari.

Cara berpikir pada zamannya, yakni 28 Juni 1966, sudah sangat Indonesia. Misalnya dia mengatakan, "Di antara redaksi dan para pembantunya yang mengisi halaman Kompas terdapat penganut agama Katolik, Protestan dan Islam. Hanya agama Hindu-Bali belum ada. Ditilik dari tempat asalnya, direksi dan redaksi Kompas bersifat nasional. Ada yang dari Yogya, Klaten, Solo, Semarang. Dari Jakarta. Dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Flores."

Sekarang, tentu saja keindonesiaan di Kompas jauh lebih komplet lagi. Bila Ojong menyinggung dua parameter untuk mengukur keindonesiaan, yakni agama dan suku bangsa, maka kedua parameter itu sudah dipenuhi Kompas sejak lama sampai kini. Sekarang, penganut Hindu-Bali pun ada. Secara etnis, dari Aceh sampai Papua juga ada, apalagi Jawa.

Sifat jujur tercermin dari pencapaian tiras alias oplah Kompas di usianya yang baru menginjak usia satu tahun. Jika diibaratkan manusia, tentu saja Kompas saat itu masih bayi, orok dengan kulit memerah. Ojong tidak bombastis dengan membesar-besarkan tiras koran. Bahkan ia mencoba berbagi rasa dengan pembaca mengenai kesusahan Kompas berjuang hidup, bahkan sampai sulitnya harian itu tiba di tangan pembaca.

"Selama 28 Juni 1965 sampai 1 Oktober 1965 tak pernah sekali pun harian ini dapat terbit pagi-pagi. Karena percetakannya tak sanggup. Tak pernah sekali pun tiba di tangan para agen sebelum pukul 6 pagi. Apalagi di tangan pembaca. Pun tak ada penjualan eceran. Salah cetak dalam berita maupun iklan terjadi setiap hari. Maka itu tidak ada ralat. Nanti dalam ralatnya ada salah lagi," Ojong berterus-terang. Mungkin biar terang terus.

Jujur dan rendah hati. Sulit rasanya menemukan dua sifat itu pada diri seseorang, pejabat maupun rakyat. Jangan jauh-jauh, lihat dan rasakan diri sendiri. Adakah dua sifat itu sekaligus bersemayam dalam diri kita? Rendah hati, juga tercermin dalam permintaan maaf yang lugas dan ikhlas, suatu sifat yang juga jarang ditemukan pada kebanyakan orang-orang mutakhir seperti sekarang ini, karena terselip anggapan: meminta maaf berarti mengaku bersalah dan bahkan kalah!

Akan tetapi, tidak bagi Ojong. Simaklah kalimat berikut ini, "Kalau kadang-kadang belakangan ini Kompas terlambat terbit, ada kalanya itu kesalahan redaksi. Atas itu kami menghaturkan maaf."

Ojong, pendiri Kompas itu sudah tiada sejak 31 Mei 1980, 27 tahun lalu. Tetapi sifat-sifat jujur, sederhana, rendah hati, perhatian, kritis, ngemong dan tidak menggurui, akan terus diingat, setidak-tidaknya oleh ribuan orang yang kini menjadi karyawan Kompas, berpuluh-puluh ribu karyawan dan keluarganya yang bernaung di bawah bendera KKG, Kelompok Kompas Gramedia, sebuah kelompok usaha yang dirintisnya. Itupun karyawan yang coba menyelami kedalaman hati dan tingkah laku terpujinya, meski sebatas cerita orang-orang lama atau lewat tulisan-tulisannya.

Untuk tidak berpanjang kata, silakan simak dan ikuti tulisan PK Ojong di bawah ini, persis seperti aslinya:

Kompas Pada Awal-Mula

Di Manila pernah seorang kawan Filipina mengajak kami untuk melihat-lihat Malacanang, istana Presiden.

Istana itu terbuka bagi setiap orang. “Kalau mau kita pun dapat melihat kamar tidur Presiden,” kata kawan itu.
Di redaksi Kompas tidak ada kamar tidur, karena seperti diketahui redaksinya bekerja siang dan malam.

Terus menerus di dapur saja.

Nah, setahun sekali kami ingin mengajak pembaca melongok keadaan dapur Kompas. Sebab hari ini Kompas merayakan ulang tahunnya yang ke-1.
*
Dapurnya kecil saja. Sebetulnya numpang pada kakaknya, Intisari.

Makanya penuh sesak. Mana banyaknya buku, majalah dan koran, dari dalam dan luar negeri. Mana sempitnya tempat. Hingga pernah mahasiswa KAMI kira-kira selusin orang “menyerbu” ke kantor kami, terpaksa dilayani sambil berdiri.

Di antara redaksi dan para pembantunya yang mengisi halaman Kompas terdapat penganut agama Katolik, Protestan dan Islam. Hanya agama Hindu-Bali belum ada.Ditilik dari tempat asalnya, direksi dan redaksi Kompas bersifat nasional.

Ada yang dari Yogya, Klaten, Solo, Semarang. Dari Jakarta. Dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Flores.
*
Sejak 28 Juni 1965 sampai hari ini redaksinya dapat dikatakan sama.

Tetapi percetakan yang didiaminya sudah 3 (tiga).
*
Karena percetakan ini riwayat singkat dari Kompas dapat dibagi menjadi dua.

Babakan pra-Gestapu. Dan babakan post-Gestapu.

Babakan pra-Gestapu adalah jaman urut dada, tarik nafas panjang. Minta ampun.

Selama 28 Juni 1965 sampai 1 Oktober 1965 tak pernah sekali pun harian ini dapat terbit pagi-pagi. Karena percetakannya tak sanggup.

Tak pernah sekali pun tiba di tangan para agen sebelum pukul 6 pagi. Apalagi di tangan pembaca. Pun tak ada penjualan eceran.
*
Salah cetak dalam berita maupun iklan terjadi setiap hari. Maka itu tidak ada ralat. Nanti dalam ralatnya ada salah lagi.

Namun jumlah korektor dulu dan kini sama. Bahkan orangnya hampir itu-itu juga.

Suatu bukti lagi betapa pentingnya peranan percetakan yang baik.
*
Pada umumnya harian ini di jaman prolog Gestapu selesai tengah hari. Hingga memusingkan pihak ekspedisi serta para agen, loper dan pembaca yang menerima harian “pagi”nya 12 jam kemudian! Oplahnya dari 15.000 setiap hari merosot, sampai sekitar 10.000.

Padahal redaksinya sama. Direksinya sama. Dulu maupun kini.

Tanpa percetakan yang baik, redaksi yang bagaimanapun pandainya, tak dapat memajukan hariannya.Maka pada kira-kira 10.000 pembaca yang setia itu –tetap setia pada kami meskipun harian kami tidak karuan terbitnya- kami menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya.

Sekarang oplah Kompas sudah beberapa kali lipat. Tetapi inti dari puluhan ribu langganan itu ialah divisi 10.000 orang yang terbukti setia di jaman sulit itu.
*
Sesudah Gestapu/PKI gagal, harian ini sejak 5 Oktober 1965 syukur dapat pindah ke percetakan PT Kinta sampai sekarang.

Barulah harian ini dapat dibeli eceran pagi-pagi.

Baru sesudah itulah tak jarang pukul 4 pagi agen-agen sudah menerimanya dan sebagian pembaca di ibu kota menerimanya di rumah sebelum pukul 6 pagi.

Sayang tak semua agen sama rajinnya.

Kalau kadang-kadang belakangan ini Kompas terlambat terbit, ada kalanya itu kesalahan redaksi. Atas itu kami menghaturkan maaf.

Tapi karena itu merupakan kecualian (terbit terlambat), maka oplah terus meningkat, sampai mencapai kapasitas maksimal dari percetakan. Ini berarti bahwa untuk sementara waktu permintaan tambahan dari para agen dan seluruh di seluruh Nusantara tak dapat dikabulkan. Sayang.
*
Kompas terbit sebagai adiknya Intisari. Tapi seperti sering terjadi si adik bisa lebih besar dan lebih gemuk dari pada kakaknya.

Bolehkah kami menjelaskannya? Kalau pembaca tak menjual Kompas bekas bacaan Anda selama setahun ini kepada tukang loak, maka koleksi koran itu beratnya kira-kira 9 kilo.

Kalau pembaca menyimpan semua Intisari yang terbit selama tiga tahun ini (nanti 17 Agustus 1966 Intisari merayakan hari ulang tahunnya yang ke-3), maka beratnya koleksi Intisari itu baru kira-kira 2,5 kilo.
*
Achirulkalam, terima kasih kepada pembaca, para pembantu dan koresponden, organisasi PT Kinta, para agen, loper, penjual eceran dan pemasang iklan. Terima kasih pula kepada percetakan-percetakan yang pernah membantu terbitnya Kompas pada permulaannya. Syukur kepada Tuhan yang tak mengijinkan Gestapu/PKI mencapai maksudnya. (Kompas, 28 Juni 1966)

Sumber: Kompasiana, Esei Jurnalistik tentang Berbagai Masalah. Oleh PK Ojong. Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1981, halaman 17-19.

Friday, May 18, 2007

Peralihan Kekuasaan Secara Damai



Ketua PKK Tawarkan Program

Rekan-rekan anggota PKK,

Hari Senin (14/5) sore, sudah diadakan rapat pengurus PKK yang dihadiri sekitar 16 orang. Sambil menunggu proses peralihan dari pengurus lama ke pengurus baru serta proses administratif lainnya; pengurus PKK periode 2007-2009, sedang menyusun situs khusus untuk anggota PKK (www.pkk-kompas.com) yang kini sedang dikerjakan sdr Amir Sodikin.

Desain kartu anggota PKK juga sudah dirampungkan oleh sdr Sadnowo. Sedang Divisi Usaha (Imam P) sudah menginventarisir jenis-jenis usaha yang layak dan bisa dikerjakan oleh PKK sebagaimana ditawarkan dan diusulkan oleh rekan dari desk ekonomi Bpk. Banu Astono.

Secara pribadi dan atas nama organisasi (PKK), saya juga telah menemui beberapa pengurus PKK sebelumnya yang masih bekerja di PT Kompas Media Nusantara. Pada intinya, saya menyatakan bahwa peralihan kepengurusan ingin berlangsung secara damai. Selain itu, program kerja dan PR yang belum sempat dijalankan pengurus lama akan berusaha dilanjutkan pada kepengurusan PKK sekarang.

Sementara itu dulu. Sekiranya teman-teman punya usulan dan masukan, dipersilahkan.

Salam,
Tjahja Gunawan

Pengurus Inti PKK Terbentuk


MUKADIMAH:
Perlahan tapi pasti, bekerja dalam sunyi, Ketua Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) yang baru terpilih, Tjahja Gunawan (GUN), berhasil menyusun pengurus inti yang akan duduk dan menjalankan roda organisasi untuk dua tahun ke depan. Pengurus inti sudah terbentuk, direkrut dari para kandidat lainnya serta tim sukses GUN. Pos-pos tertentu sudah terbentuk, tinggal diisi orangnya saja. Secara demokratis, GUN meminta dan mengajak karyawan lainnya untuk menempati pos-pos itu sesuai kapabilitasnya. Gerak cepat GUN --terpilih melalui pemilihan raya yang diikuti 83 persen karyawan-- mendapat apresiasi dari wartawan Senior Kompas yang kini bertugas di Warta Kota, Hendri Ch Bagun (HCB). Di bawah ini postingan GUN di milis karyawan yang dimaksudkan sebagai maklumat kepada khalayak, sekaligus tanggapan HCB.


Maklumat Tjahja Gunawan

Teman-teman yang baik,

Pada hari 7 Mei 2007, saya bersama Adhi Kusumaputra, Jannes Eudes Wawa, dan Frans Mentasir, telah menandatangani Berita Acara Penetapan Penghitungan Suara Pemilihan Ketua PKK. Pada hari yang sama, kami berempat juga telah mengadakan rapat membahas tentang struktur kepengurusan PKK Periode 2007-2009.

Sesuai dengan amanat AD/ART PKK, saya selaku Ketua PKK terpilih telah menetapkan sdr Jannes Eudes Wawa sebagai Wakil Ketua, Sekretaris Adhi KSP, danWakil Sekretaris Frans Mentasir. Rapat juga telah menetapkan Hamzirwan (HAM) sebagai pengurus PKK pada Divisi Hubungan Industrial, dan Imam Prihadiyoko pada Divisi Usaha.

Secara lengkap Struktur Organisasi PKK terdiri dari: Ketua, Wk Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris, Bendahara, Wk Bendahara, Ketua Unit Redaksi, Ketua Unit SDM-Umum, Ketua Unit Binis, Ketua Unit TI, Ketua Unit Litbang.

Dalam struktur ini juga terdapat lima divisi terdiri dari : Divisi Hubungan Industrial, Usaha, Kebudayaan dan Olahraga, Sumber Daya Manusia, dan Divisi Perempuan.

Selain itu juga dilengkapi dengan Sembilan Koordinator Wilayah terdiri dari Korwil Sumbagut, Sumbagsel, Jabar, Jateng, DI Yogyakarta, Jatim, Denpasar/Nusra, dan Sulawesi/Intim, dan Korwil Kalimantan.

Struktur organisasi ini sepintas memang terlihat gemuk, tetapi kami ingin melibatkan partisipasi seluas-luasnya dari anggota PKK yang juga karyawan PT Kompas Media Nusantara.

Rapat juga menyepakati untuk membuat kartu anggota PKK yang akan dibagikan kepada seluruh karyawan PT KMN yang berjumlah 926 orang. Bagi karyawan yang tidak setuju dengan sistem keanggotaan PKK, bisa mengembalikan kartu anggota tersebut kepada pengurus PKK.

Melalui milis ini kami mengajak rekan-rekan semua sesama karyawan yang bersedia secara sukarela bergabung menjadi pengurus PKK Periode 2007-2009.

Terima kasih, Tjahja Gunawan

Apresiasi HCB:

Saya mengucapkan selamat kepada jajaran pengurus baru PKK yang mencerminkan soliditas dan kekompakan pasca pemilihan. Tuhan juga tahu kalian sudah mewakili suara karyawan Kompas, meski ada anjing menggonggong di luar sana. Biar aja, kalau nggak begitu nggak rame. Selamat bekerja untuk kemaslahatan karyawan. Merdeka.

Salam HCB dari Hayam Wuruk,
markas Warta Kota yang 7 Mei lalu genap sewindu dan oplahnya mantap di atas 192.000 perhari.

Wednesday, May 16, 2007

Tamu Terhormat



Pengelola Blog Mediacare

KAMI kedatangan tamu istimewa, blogger yang kami hormati dan kagumi, yakni Radityo Djadjoeri. Dia adalah pengelola blog Mediacare, sebuah blog yang mengupas dunia media massa dalam dan luar negeri. Blog miliknya itu banyak dikunjungi para peminat dan pemerhati media massa dalam dan luar negeri.

Radityo Djadjoeri beberapa waktu lalu berkirim surat. Sebagai pengelola blog dan pemerhati perkembangan media massa tanah air, ia juga mencermati kehadiran blog Insidekompas, sebuah blog "perlawanan" yang lahir karena adanya blog Kompasinside, blog yang isinya tidak lain khusus untuk mendiskreditkan Harian Kompas secara sepihak tanpa perimbangan apapun.

Dalam ilmu komunikasi kita mengenal jargon "Seribu kali kebohongan disampaikan, lama-lama ia akan dianggap sebagai sebuah kebenaran". Ini gaya dikatator Adolf Hitler dalam membohongi rakyatnya. Dan, yang disampaikan Kompasinside adalah ilmu sang diktator itu. Tentu saja kalau dibiarkan ia akan membohongi publik, setidak-tidaknya publik yang membuka blog mereka.

Kami ingin memberi second opinion terhadap pandangan sepihak mereka. Sebab, siapa tahu publik selama ini meyakininya apa yang mereka baca di Kompasinside sebagai sebuah kebenaran. Setidak-tidaknya, baca dulu Insidekompas sebelum sampai pada sebuah keputusan.

Di bawah ini surat yang ditulis Radityo Djadjoeri:

Perang tanding terbukti tak cuma di medan laga. Di kancah blog pun, para blogger bisa sibuk berperang walau tanpa senjata betulan, tapi melalui berondongan kata-kata. Sebagai contoh adalah blog milik pendukung Bang Foke vs pendukung Abu Adang (kebanyakan orang PKS) yang pernah diributkan. Kini muncul pula blog Insidekompas, klik di:
http://www.insidekompas.blogspot.com.

Menurut wartawan Harian Kompas yang mengelola blog tersebut, maksud dibuatnya blog tersebut adalah untuk menangkal informasi sesat yang selama ini telah mendiskreditkan Harian Kompas. "Kami harus menangkalnya, karena tujuan mereka adalah ingin agar Kompas hancur," ujarnya seperti yang ia tuliskan di sebuah milis.

Ia juga mengundang Anda semua untuk menyumbangkan tulisan atau usul atas pendiskreditan itu ke email:
insidekompas@yahoo.com.

Sedangkan blog yang menjadi "lawan" Insidekompas adalah KOMPAS INSIDE yang didukung oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Bisa diklik di:
http://kompasinside.blogspot.com

Selamat menikmati, semoga tidak bertambah bingung.....