Thursday, August 30, 2007

Sidang PHI Berakhir


Kompas Menang

SELAKU penggugat, PT Kompas Media Nusantara (KMN) akhirnya memenangi gugatan perselisihan pemutusan hubungan kerja melawan tergugat Paulus Bambang Wisudo (WIS) . Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Heru Pramono, Kamis (30/8), menolak eksepsi tergugat untuk seluruhnya.

Sedangkan dalam pokok perkara, sidang PHI mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menyatakan hubungan kerja antara penggugat dengan tergugat telah berakhir terhitung mulai tanggal dibacakannya putusan.

Putusan sidang juga mewajibkan penggugat, dalam hal ini PT KMN, membayar kompensasi kepada tergugat uang sebesar Rp 167.408.159 (seratus enam puluh tujuh juta empat ratus delapan ribu seratus lima puluh sembilan rupiah) sesuai UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


Tuesday, June 12, 2007

Kunjungan Finalis "Indonesian Idol"


MUKADIMAH:
SENIN petang, 11 Juni 2007, tim futsal Redaksi Harian Kompas menerima kedatangan 12 inalis "Indonesian Idol" yang biasa bertarung di Balai Sarbini setiap Jumat dan disiarkan RCTI, untuk sebuah pertandingan persabahatan. Acara berlangsung meriah dan penuh persahabatan, tidak saling ngotot-ngototan memenangi pertandingan dan skor akhir 2-2. Berikut laporan singkat wartawan Kompas R. Adhi Kusumaputra (KSP) yang dimuat di
www.kompas.com dan www.pkk-kompas.com.


Indonesian Idol Bertanding Futsal di Kompas

JAKARTA, KOMPAS -Dua belas peserta Indonesian Idol hari Senin (11/6) sore ini bertanding futsal melawan tim Kompas di lapangan futsal Kompas, Palmerah, Jakarta.

Dipimpin Public Relations RCTI Hafni Sari Damayanti, 12 peserta Indonesian Idol ini bermain bergantian dengan tim Kompas, yang sebagian besar wartawan perempuan. "Kami memenuhi undangan Kompas untuk bermain futsal," kata Yanti, nama panggilannya.

Sementara Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Taufik H Mihardja mengatakan, ini kali kedua Kompas mengundang tim luar untuk bermain futsal bersama di Kompas. Sebelumnya, tim Puteri Indonesia juga tampil bermain futsal di Kompas.

Peserta Indonesian Idol adalah Rini, Gaby, Sarah, Dimas, Fandy, Wilson, Julian (tujuh besar yang masih tampil hingga Jumat 15 Juni), lalu Priska, Steve, Marsya, Gana dan Risma (lima terakhir ini sudah tereleminiasi)..

Sebelum bermain futsal, peserta Indonesian Idol menyanyikan lagu "Bendera Merah Putih", "Wow", dan "Idola Indonesia".

Tuesday, June 5, 2007

Menimbang Audio-Video



Ada “Office Boy”, ada “Office Theatre”

ADA Office Boy di kantor, itu biasa. Tetapi Office Theatre? Di rumah biasa ada Home Theatre. Tetapi Office Theatre? Apa pula ini? Apa ada istilah baru yang namanya Office Theatre?


Ah, itu sekadar istilah jadi-jadian saja. Istilah yang selintas lewat dalam pikiran, hap... lalu ditangkap, seperti cicak-cicak di dinding. Tidak ada istilah Office Theatre. Hanya saja ketika ada perlengkapan Home Theatre yang dipasang di kantor, tepatnya di balik pintu masuk utama sayap kanan lantai III Redaksi Harian Kompas, maka istilah itupun tiba-tiba muncul begitu saja.

Ini perangkat audio-video yang dikeluarkan sebuah perusahaan elektronik yang mengusung jargon “Life’s Good”, sebuah televisi plasma raksasa seukuran kira-kira 60 inches (1,5 meter), lengkap dengan sub-woofer dan enam speaker yang bisa dipasang di sekeliling ruangan untuk menimbulkan efek stereo yang nyata.

Kalau memutar film dari media DVD, terasalah kebeningan gambar dan kejernihan suaranya. Alhasil, ruangan sayap kanan depan yang terisi desk polhukam, desk opini, dan desk multimedia itu seperti tersulap menjadi theater sungguhan. AW Subarkah adalah wartawan spesialis multimedia yang menghadirkan televisi plasma raksasa itu untuk ditimbang, sementara Irwan Julianto secara sukarela menjadi “operator” yang banyak memutar film bermutu nonbajakan, plus kelompok musik kondang.

Tadi malam terjadi kehebohan tatkala kelompok Queen dengan Freddy Mercury-nya “menguncang” seisi kantor dengan lagu-lagu getasnya, classic rock. Disusul The Bee Gees yang bersuara “cempreng”, dan The Beatles yang tampil dengan gaya gipsy-nya. “When I find myself in trouble mother Marry comes to me...” lenguh Paul McCartney.

Sebelumnya juga ada Il Divo. Juga ada penyanyi solo macam Josh Groban, Andrea Boricelli, dan Santana. Belum lagi film action seperti Mission Imposible dan The Blood Diamond.

Banyak wartawan dan karyawan tertahan saat hendak pulang untuk duduk sejenak di kursi yang dijajarkan di depan televisi. Tercatat yang duduk menikmati Office Theatre itu antara lain Maria Hartiningsih, Fitrisia, Tony Widiastono, Agnes Aristiarini, dan Retno Bintarti. Belum lagi anggota tiga desk di ruangan itu yang mau tidak mau menikmati apa saja yang diputar.

Meski demikian, kerja jalan terus. Bahkan ada wartawan yang tenggelam dalam pekerjaan seakan-akan tidak pernah tahu ada keriuhan di sekitarnya!

Komentar para wartawan beragam, tetapi kebanyakan kelakar. "Wah, televisi di rumah saya malah lebih besar, sebesar dinding rumah," kata seorang wartawan. Yang lain tak tinggal diam, "Di rumah televisi begini saya pasang di halaman, biar tetangga ikut menikmati." Ada lagi, "Saya mau membeli televisi model begini, tetapi mau yang lebih besar dari ini." Yang lain, ya ketawa-ketiwi sajalah mendengarnya, selagi ketawa-ketiwi tidak dipajak!

Konon, televisi plasma raksasa itu hanya sementara saja berada di ruangan itu. Selesai ditimbang , barang harus angkat kaki. Kalau ditimbang dan dinilai, tentu tidak akan ada cacatnya. Hanya saja bagi sebagian besar karyawan Kompas, kekuarangan barang baru itu tetap ada, yaitu harganya yang tidak bisa terjangkau kocek!

Ah, namanya saja ikut menikmati, tidak harus memiliki atau membeli, bukan?

Demam Futsal




Sportif, Lalu Kreatif

BERMULA setahun yang lalu, ketika Buyung Wijayakusuma (BOY) dan kawan-kawan menggagas pertandingan futsal antardesk di lingkungan Redaksi Harian Kompas, tradisi itu terus berlanjut dan menjadi agenda tahunan di luar unit Porka yang akhir-akhir ini belum menunjukkan geliatnya. Tetapi "Futsal Fiesta" ini bukan karena unit Porka tertidur pulas, ini sekdar melanjutkan tradisi yang tampaknya mendapat tempat di hati para awak redaksi.

Alhasil, tiga hari dalam seminggu setiap sore bertanding para futsalmania mewakili desk dan unit-unit kecil di lingkungan redaksi. Mulai dari para bos besar yang duduk di meja tengah, bos menengah yang tersebar di berbagai desk, sampai unit-unit pendukung seperti office boy (OB). Setiap sore mereka bertarung di lapangan basket yang disulap jadi lapangan futsal di belakang percetakan Gramedia.

Kadang pertarungan berlangsung seru, tegang, dan beberapa tim tampil ngotot ingin memenangi pertandingan. Tetapi kebanyakan hanya fun saja, tidak terlalu seriuslah, sekadar melemaskan otot saja daripada duduk terus menghadapi komputer. Satu tim bisa bercampur antara lelaki dan perempuan. Di sinilah serunya. Penuh gelak tawa, canda dan saling ejek, saling memanas-manasi. Di lapangan, para pemain futsal berseragam kaus lengkap, plus dengan nama atau inisial di belakang kaus pemain. Soal kostum ini baru serius!

Selepas pertandingan, ada tim kreatif yang melaporkan pertandingan demi pertandingan untuk "tabloid" satu halaman dengan nama tabloid Futsale. Tata letak tabloid ini sungguh apik dan profesional, mengalahkan tabloid-tabloid olahraga pada umumnya karena digarap oleh teman-teman produksi, plus pemilihan foto atraktif di lapangan dan berita yang menggigit. Alhasil, selain berlatih untuk selalu berlaku sportif, juga berlanjut dengan unsur kreatif.

Bagi yang tidak sempat menonton pertandingan, Futsale menjadi komunikasi yang efektif, meski satu arah. Tabloid ini kemudian di tempel di tempat-tempat pengumuman atau papan informasi dan tempat-tempat strategis lainnya. Tentu saja setelah meminta izin dari pengelola gedung, tidak asal tempel poster. Ada juga "reporter sukarela" yang melaporkan pandangan mata dan dimasukkan ke dalam situs Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) berlamat di www.pkk-kompas.com. Di sini "berita" menjadi percakapan antarpelaku maupun mereka yang dipersatukan minat yang sama, futsal, karena sifatnya yang interaktif.

Tuesday, May 29, 2007

Web PKK




SETELAH kepengurusan Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) yang baru terbentuk, ketua terpilih Tjahja Gunawan, segera melancarkan berbagai program nyata, antara lain kunjungan ke Metro TV untuk mempelajari "nursery", plus melihat-lihat kemungkinan PKK membuat minimarket, juga presentasi dari orang-orang asuransi di Bentara Budaya Jakarta (BBJ).

Mengapa harus "nursery", karena dalam kampanye ada yang melontarkan perlunya perusahaan membuat tempat penitipan anak (kecil) atau bayi, agar si ibu bisa bekerja lebih tenang dan dekat dengan anaknya, daripada di rumah bersama babby sitter atau bediende. Untuk program asuransi, dijajaki kemungkinan setiap karyawan diasuransikan. Sebuah terobosan!

Hal lain lagi yang lebih nyata, PKK dengan mengandalkan Amir Sodikin dan kawan-kawan yang melek iptek, segera membuat situs web khusus PKK beralamat di www.pkk-kompas.com. Situs ini dirancang agar seluruh karyawan bisa nyaman berkomunikasi satu sama lainnya, baik antara pengurus PKK maupun anggotanya yang tersebar di berbagai daerah. Situs ini juga memuat kegiatan terakhir berkaitan dengan PKK atau berkaitan dengan kegiatan Kompas, misalnya pertandingan futsal. Bahkan ada tabloid khusus "Futsale" yang terbit setiap usai pertandingan antar desk tersebut.

Situs web PKK bisa diakses oleh umum tentunya, karena ia berada di jalur maya. Tetapi untuk membuka isinya, hanya karyawan Kompas saja yang diperbolehkan, itupun mereka yang terdaftar. Untuk mendaftarkannya, harus mengisi daftar lengkap, mulai nama diri sampai nomor induk pegawai dan di divisi mana seorang karyawan bekerja. Moderator akan meneliti keabsahan para pendaftar. Setelah disetujui, maka situs PKK itupun bisa diakses. Asyik, rasanya kita masuk ke dalam sebuah aula yang di dalamnya terisi oleh ribuan karyawan Kompas, yang kadang hanya tahu nama tetapi tidak saling kenal muka.


Tuesday, May 22, 2007

Buku Sejarah Kompas


Dari Belakang Ke Depan

SEBUAH buku telah lahir. Buku sejarah. Sejarah pers, khususnya Kompas, sebuah harian yang terbit untuk pertama kalinya 28 Juni 1965. Pendirinya adalah dwitunggal, Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama. Ojong telah meninggal 27 tahun lalu, sedangkan Jakob masih sehat wal afiat. Semoga beliau panjang usia.

Buku ini diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK). Orang menyebutnya penerbit "Kebo", merujuk pada logo perusahaan penerbitan yang berlambang seekor kerbau dimana di atasnya bertengger seorang "bocah angon" (penggembala) yang sedang meniup seruling. Kantor PBK berada di samping kiri Gedung Kompas Gramedia lama, berbaur dengan rumah-rumah penduduk.

Ada beberapa rekan yang memelesetkan PBK menjadi Penerbit Buku Kliping. Ada benarnya, sebab beberapa buku merupakan dokumentasi dari ribuan artikel yang pernah dimuat di Harian Kompas, khususnya yang memberi inspirasi dan memompa semangat dan gairah berkiprah. Tetapi tidak semua dari kliping. Ada buku-buku yang murni ditulis memang untuk menjadi buku. Ditulis secara serius, bukan hasil kliping. Salah satunya adalah buku "Kompas, dari Belakang ke Depan: menulis dari dalam". Diterbitkan baru seminggu lalu dan mungkin baru beberapa hari lewat saja menghias rak-rak toko buku.

Inilah buku sejarah Kompas terkomplit yang pernah terbit. Selain bercerita mengenai kelahirannya, buku ini juga menceritakan jatuh-bangun, kisah sukses, sampai strategi bertahannya yang unik. Frans M. Parera, salah seorang penyumbang tulisan tidak harus malu mengatakan "jurnalisme kepiting" untuk strategi bertahan Kompas yang menjadikan harian ini tetap eksis bertahan.

Saat beberapa harian diberangus penguasa Orde Baru, yakni Soeharto dan antek-anteknya yang menciptakan mesin antidemokrasi di tahun 1978, Kompas termasuk salah satu korban pemberangusan itu. Dua minggu kemudian, Jakob diminta menandatangani surat pernyataan agar Kompas tidak galak lagi terhadap pemerintah Soeharto.

August Parengkuan, seorang sesepuh Kompas dalam buku itu mengatakan, "Bagi Pak Jakob, Kompas harus terbit kembali. bukan saja agar para karyawan bisa terus bekerja tetapi yang penting tetap mempunyai medium untuk menyampaikan gagasan, pemikiran, dan ide-ide baik kepada pemerintah maupun ke masyarakat. Jadi tidak perlu gagah-gagahan seakan-akan menjuadi pahlawan karena berseberangan dengan pemerintah, tulis August, "tetapi satu minggu sesudahnya semua orang lupa pernah ada koran bernama Kompas" (hal. 298).

Sejumlah penulis memberi konstribusi dalam penulisan buku ini, antara lain St Sularto, Mamak Sutamat, Ninok Leksono, Suryopratomo, Agung Adiprasetyo, dan Arbain Rambey. Jakob memberi sambutan dalam buku ini. Buku dihiasi foto-foto lawas dari dokumentasi foto yang tidak atau belum pernah dipublikasikan. Unsur mengejutkan dan mencengangkan sudah pasti ada saat melihat foto-foto yang disunnting Arbain ini. Buku memuat pula kartun GM Sudarta yang dikenal sangat "menyentil dan mengena" itu, juga ada ilustrasi dua halaman penuh sosok PK Ojong dan Jakob Oetama karya Jitet (lihat foto di atas).

Buku ini tentu saja memberi inspirasi bagi siapapun, dari orang pers, mahasiswa, atau masyarakat umum yang ingin lebih kenal dekat Kompas. Dari buku ini kita bisa belajar bagaimana cara mempertahankan diri, penanaman karakter baik, integritas dan loyalitas, juga bisa tahu bahwa membangun sebuah kerajaan bisnis seperti yang bisa dilihat sekarang ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Perlu waktu 42 tahun untuk membangunnya. Sedangkan orang yang ingin menjatuhkan sekaligus menghancurkan Kompas, tidak perlu menunggu selama itu. Bila perlu cukup satu hari saja!

Buku ini tidak hanya wajib dibaca oleh 246 wartawan Kompas atau seluruh karyawannya yang berjumlah 953 orang (data 2007) dan kerabat serta keluarganya, juga oleh sekitar 5.000an karyawan yang bernaung di bawah bendera KKG, tetapi oleh mereka yang ingin mendalami nilai-nilai sebuah kejuangan dan semangat survive sebuah harian bernama Kompas. Tentu saja kiprah orang-orang di dalamnya; dari pendiri, pemegang saham, petinggi sampai office boy.

Monday, May 21, 2007

Kompasiana PK Ojong (1)




Jujur dan Rendah Hati

MEMILIKI salah satu sifat saja, jujur atau rendah hati, sudah sangat beruntung. Apalagi kalau memiliki kedua sifat itu sekaligus. Petrus Kanisius Ojong atau biasa disingkat PK Ojong, salah seorang pendiri Harian Kompas selain Jakob Oetama, memiliki dua sifat itu sekaligus. Setidak-tidaknya tercermin dalam kolom khususnya di awal kelahiran Kompas hingga akhir 1970-an, Kompasiana.

Secara berkala, pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juli 1920, yang bernama asli Auwjong Peng Koen itu menulis rubrik Kompasiana. Topiknya bisa bermacam-macam, tergantung dari peristiwa mutakhir pada zamannya. Mulai dari topik politik, ekonomi, pers, hukum, asimilasi, sosial kemasyarakatan, kebudayaan, persoalan kota Jakarta, sampai hal yang remeh temeh seperti tulisan mengenai ulang tahun pertama Kompas, 28 Juni 1966 di bawah ini. Kompas lahir 28 Juni 1965, yang berarti akan genap berusia 42 tahun 28 Juni 2007 nanti.

Dalam setiap kolom Kompasiana, Ojong menulis dengan gaya "staccato" -meminjam istilah musik- pendek-pendek dan seperti terputus-putus. Tidak berpretensi sedang berfilsafat dengan bahasa rumit dan kalimat beranak-cucu-cicit untuk menunjukkan kecanggihan berpikir. Bahasa yang ia pergunakan adalah bahasa tutur sehari-hari. Bukan tidak mampu berfilsafat yang kadang dipantulkan lewat rumitnya berbahasa, tetapi ia sadar betul kepada siapa sedang menyampaikan pesan. Kepada khalayak umum pembaca Kompas dengan strata pendidikan yang berbeda-beda. Maka ia memilih bahasa yang lugas, spontan, dan langsung, bahasa yang dipergunakan warga masyarakat sehari-hari.

Cara berpikir pada zamannya, yakni 28 Juni 1966, sudah sangat Indonesia. Misalnya dia mengatakan, "Di antara redaksi dan para pembantunya yang mengisi halaman Kompas terdapat penganut agama Katolik, Protestan dan Islam. Hanya agama Hindu-Bali belum ada. Ditilik dari tempat asalnya, direksi dan redaksi Kompas bersifat nasional. Ada yang dari Yogya, Klaten, Solo, Semarang. Dari Jakarta. Dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Flores."

Sekarang, tentu saja keindonesiaan di Kompas jauh lebih komplet lagi. Bila Ojong menyinggung dua parameter untuk mengukur keindonesiaan, yakni agama dan suku bangsa, maka kedua parameter itu sudah dipenuhi Kompas sejak lama sampai kini. Sekarang, penganut Hindu-Bali pun ada. Secara etnis, dari Aceh sampai Papua juga ada, apalagi Jawa.

Sifat jujur tercermin dari pencapaian tiras alias oplah Kompas di usianya yang baru menginjak usia satu tahun. Jika diibaratkan manusia, tentu saja Kompas saat itu masih bayi, orok dengan kulit memerah. Ojong tidak bombastis dengan membesar-besarkan tiras koran. Bahkan ia mencoba berbagi rasa dengan pembaca mengenai kesusahan Kompas berjuang hidup, bahkan sampai sulitnya harian itu tiba di tangan pembaca.

"Selama 28 Juni 1965 sampai 1 Oktober 1965 tak pernah sekali pun harian ini dapat terbit pagi-pagi. Karena percetakannya tak sanggup. Tak pernah sekali pun tiba di tangan para agen sebelum pukul 6 pagi. Apalagi di tangan pembaca. Pun tak ada penjualan eceran. Salah cetak dalam berita maupun iklan terjadi setiap hari. Maka itu tidak ada ralat. Nanti dalam ralatnya ada salah lagi," Ojong berterus-terang. Mungkin biar terang terus.

Jujur dan rendah hati. Sulit rasanya menemukan dua sifat itu pada diri seseorang, pejabat maupun rakyat. Jangan jauh-jauh, lihat dan rasakan diri sendiri. Adakah dua sifat itu sekaligus bersemayam dalam diri kita? Rendah hati, juga tercermin dalam permintaan maaf yang lugas dan ikhlas, suatu sifat yang juga jarang ditemukan pada kebanyakan orang-orang mutakhir seperti sekarang ini, karena terselip anggapan: meminta maaf berarti mengaku bersalah dan bahkan kalah!

Akan tetapi, tidak bagi Ojong. Simaklah kalimat berikut ini, "Kalau kadang-kadang belakangan ini Kompas terlambat terbit, ada kalanya itu kesalahan redaksi. Atas itu kami menghaturkan maaf."

Ojong, pendiri Kompas itu sudah tiada sejak 31 Mei 1980, 27 tahun lalu. Tetapi sifat-sifat jujur, sederhana, rendah hati, perhatian, kritis, ngemong dan tidak menggurui, akan terus diingat, setidak-tidaknya oleh ribuan orang yang kini menjadi karyawan Kompas, berpuluh-puluh ribu karyawan dan keluarganya yang bernaung di bawah bendera KKG, Kelompok Kompas Gramedia, sebuah kelompok usaha yang dirintisnya. Itupun karyawan yang coba menyelami kedalaman hati dan tingkah laku terpujinya, meski sebatas cerita orang-orang lama atau lewat tulisan-tulisannya.

Untuk tidak berpanjang kata, silakan simak dan ikuti tulisan PK Ojong di bawah ini, persis seperti aslinya:

Kompas Pada Awal-Mula

Di Manila pernah seorang kawan Filipina mengajak kami untuk melihat-lihat Malacanang, istana Presiden.

Istana itu terbuka bagi setiap orang. “Kalau mau kita pun dapat melihat kamar tidur Presiden,” kata kawan itu.
Di redaksi Kompas tidak ada kamar tidur, karena seperti diketahui redaksinya bekerja siang dan malam.

Terus menerus di dapur saja.

Nah, setahun sekali kami ingin mengajak pembaca melongok keadaan dapur Kompas. Sebab hari ini Kompas merayakan ulang tahunnya yang ke-1.
*
Dapurnya kecil saja. Sebetulnya numpang pada kakaknya, Intisari.

Makanya penuh sesak. Mana banyaknya buku, majalah dan koran, dari dalam dan luar negeri. Mana sempitnya tempat. Hingga pernah mahasiswa KAMI kira-kira selusin orang “menyerbu” ke kantor kami, terpaksa dilayani sambil berdiri.

Di antara redaksi dan para pembantunya yang mengisi halaman Kompas terdapat penganut agama Katolik, Protestan dan Islam. Hanya agama Hindu-Bali belum ada.Ditilik dari tempat asalnya, direksi dan redaksi Kompas bersifat nasional.

Ada yang dari Yogya, Klaten, Solo, Semarang. Dari Jakarta. Dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Flores.
*
Sejak 28 Juni 1965 sampai hari ini redaksinya dapat dikatakan sama.

Tetapi percetakan yang didiaminya sudah 3 (tiga).
*
Karena percetakan ini riwayat singkat dari Kompas dapat dibagi menjadi dua.

Babakan pra-Gestapu. Dan babakan post-Gestapu.

Babakan pra-Gestapu adalah jaman urut dada, tarik nafas panjang. Minta ampun.

Selama 28 Juni 1965 sampai 1 Oktober 1965 tak pernah sekali pun harian ini dapat terbit pagi-pagi. Karena percetakannya tak sanggup.

Tak pernah sekali pun tiba di tangan para agen sebelum pukul 6 pagi. Apalagi di tangan pembaca. Pun tak ada penjualan eceran.
*
Salah cetak dalam berita maupun iklan terjadi setiap hari. Maka itu tidak ada ralat. Nanti dalam ralatnya ada salah lagi.

Namun jumlah korektor dulu dan kini sama. Bahkan orangnya hampir itu-itu juga.

Suatu bukti lagi betapa pentingnya peranan percetakan yang baik.
*
Pada umumnya harian ini di jaman prolog Gestapu selesai tengah hari. Hingga memusingkan pihak ekspedisi serta para agen, loper dan pembaca yang menerima harian “pagi”nya 12 jam kemudian! Oplahnya dari 15.000 setiap hari merosot, sampai sekitar 10.000.

Padahal redaksinya sama. Direksinya sama. Dulu maupun kini.

Tanpa percetakan yang baik, redaksi yang bagaimanapun pandainya, tak dapat memajukan hariannya.Maka pada kira-kira 10.000 pembaca yang setia itu –tetap setia pada kami meskipun harian kami tidak karuan terbitnya- kami menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya.

Sekarang oplah Kompas sudah beberapa kali lipat. Tetapi inti dari puluhan ribu langganan itu ialah divisi 10.000 orang yang terbukti setia di jaman sulit itu.
*
Sesudah Gestapu/PKI gagal, harian ini sejak 5 Oktober 1965 syukur dapat pindah ke percetakan PT Kinta sampai sekarang.

Barulah harian ini dapat dibeli eceran pagi-pagi.

Baru sesudah itulah tak jarang pukul 4 pagi agen-agen sudah menerimanya dan sebagian pembaca di ibu kota menerimanya di rumah sebelum pukul 6 pagi.

Sayang tak semua agen sama rajinnya.

Kalau kadang-kadang belakangan ini Kompas terlambat terbit, ada kalanya itu kesalahan redaksi. Atas itu kami menghaturkan maaf.

Tapi karena itu merupakan kecualian (terbit terlambat), maka oplah terus meningkat, sampai mencapai kapasitas maksimal dari percetakan. Ini berarti bahwa untuk sementara waktu permintaan tambahan dari para agen dan seluruh di seluruh Nusantara tak dapat dikabulkan. Sayang.
*
Kompas terbit sebagai adiknya Intisari. Tapi seperti sering terjadi si adik bisa lebih besar dan lebih gemuk dari pada kakaknya.

Bolehkah kami menjelaskannya? Kalau pembaca tak menjual Kompas bekas bacaan Anda selama setahun ini kepada tukang loak, maka koleksi koran itu beratnya kira-kira 9 kilo.

Kalau pembaca menyimpan semua Intisari yang terbit selama tiga tahun ini (nanti 17 Agustus 1966 Intisari merayakan hari ulang tahunnya yang ke-3), maka beratnya koleksi Intisari itu baru kira-kira 2,5 kilo.
*
Achirulkalam, terima kasih kepada pembaca, para pembantu dan koresponden, organisasi PT Kinta, para agen, loper, penjual eceran dan pemasang iklan. Terima kasih pula kepada percetakan-percetakan yang pernah membantu terbitnya Kompas pada permulaannya. Syukur kepada Tuhan yang tak mengijinkan Gestapu/PKI mencapai maksudnya. (Kompas, 28 Juni 1966)

Sumber: Kompasiana, Esei Jurnalistik tentang Berbagai Masalah. Oleh PK Ojong. Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1981, halaman 17-19.

Friday, May 18, 2007

Peralihan Kekuasaan Secara Damai



Ketua PKK Tawarkan Program

Rekan-rekan anggota PKK,

Hari Senin (14/5) sore, sudah diadakan rapat pengurus PKK yang dihadiri sekitar 16 orang. Sambil menunggu proses peralihan dari pengurus lama ke pengurus baru serta proses administratif lainnya; pengurus PKK periode 2007-2009, sedang menyusun situs khusus untuk anggota PKK (www.pkk-kompas.com) yang kini sedang dikerjakan sdr Amir Sodikin.

Desain kartu anggota PKK juga sudah dirampungkan oleh sdr Sadnowo. Sedang Divisi Usaha (Imam P) sudah menginventarisir jenis-jenis usaha yang layak dan bisa dikerjakan oleh PKK sebagaimana ditawarkan dan diusulkan oleh rekan dari desk ekonomi Bpk. Banu Astono.

Secara pribadi dan atas nama organisasi (PKK), saya juga telah menemui beberapa pengurus PKK sebelumnya yang masih bekerja di PT Kompas Media Nusantara. Pada intinya, saya menyatakan bahwa peralihan kepengurusan ingin berlangsung secara damai. Selain itu, program kerja dan PR yang belum sempat dijalankan pengurus lama akan berusaha dilanjutkan pada kepengurusan PKK sekarang.

Sementara itu dulu. Sekiranya teman-teman punya usulan dan masukan, dipersilahkan.

Salam,
Tjahja Gunawan

Pengurus Inti PKK Terbentuk


MUKADIMAH:
Perlahan tapi pasti, bekerja dalam sunyi, Ketua Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) yang baru terpilih, Tjahja Gunawan (GUN), berhasil menyusun pengurus inti yang akan duduk dan menjalankan roda organisasi untuk dua tahun ke depan. Pengurus inti sudah terbentuk, direkrut dari para kandidat lainnya serta tim sukses GUN. Pos-pos tertentu sudah terbentuk, tinggal diisi orangnya saja. Secara demokratis, GUN meminta dan mengajak karyawan lainnya untuk menempati pos-pos itu sesuai kapabilitasnya. Gerak cepat GUN --terpilih melalui pemilihan raya yang diikuti 83 persen karyawan-- mendapat apresiasi dari wartawan Senior Kompas yang kini bertugas di Warta Kota, Hendri Ch Bagun (HCB). Di bawah ini postingan GUN di milis karyawan yang dimaksudkan sebagai maklumat kepada khalayak, sekaligus tanggapan HCB.


Maklumat Tjahja Gunawan

Teman-teman yang baik,

Pada hari 7 Mei 2007, saya bersama Adhi Kusumaputra, Jannes Eudes Wawa, dan Frans Mentasir, telah menandatangani Berita Acara Penetapan Penghitungan Suara Pemilihan Ketua PKK. Pada hari yang sama, kami berempat juga telah mengadakan rapat membahas tentang struktur kepengurusan PKK Periode 2007-2009.

Sesuai dengan amanat AD/ART PKK, saya selaku Ketua PKK terpilih telah menetapkan sdr Jannes Eudes Wawa sebagai Wakil Ketua, Sekretaris Adhi KSP, danWakil Sekretaris Frans Mentasir. Rapat juga telah menetapkan Hamzirwan (HAM) sebagai pengurus PKK pada Divisi Hubungan Industrial, dan Imam Prihadiyoko pada Divisi Usaha.

Secara lengkap Struktur Organisasi PKK terdiri dari: Ketua, Wk Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris, Bendahara, Wk Bendahara, Ketua Unit Redaksi, Ketua Unit SDM-Umum, Ketua Unit Binis, Ketua Unit TI, Ketua Unit Litbang.

Dalam struktur ini juga terdapat lima divisi terdiri dari : Divisi Hubungan Industrial, Usaha, Kebudayaan dan Olahraga, Sumber Daya Manusia, dan Divisi Perempuan.

Selain itu juga dilengkapi dengan Sembilan Koordinator Wilayah terdiri dari Korwil Sumbagut, Sumbagsel, Jabar, Jateng, DI Yogyakarta, Jatim, Denpasar/Nusra, dan Sulawesi/Intim, dan Korwil Kalimantan.

Struktur organisasi ini sepintas memang terlihat gemuk, tetapi kami ingin melibatkan partisipasi seluas-luasnya dari anggota PKK yang juga karyawan PT Kompas Media Nusantara.

Rapat juga menyepakati untuk membuat kartu anggota PKK yang akan dibagikan kepada seluruh karyawan PT KMN yang berjumlah 926 orang. Bagi karyawan yang tidak setuju dengan sistem keanggotaan PKK, bisa mengembalikan kartu anggota tersebut kepada pengurus PKK.

Melalui milis ini kami mengajak rekan-rekan semua sesama karyawan yang bersedia secara sukarela bergabung menjadi pengurus PKK Periode 2007-2009.

Terima kasih, Tjahja Gunawan

Apresiasi HCB:

Saya mengucapkan selamat kepada jajaran pengurus baru PKK yang mencerminkan soliditas dan kekompakan pasca pemilihan. Tuhan juga tahu kalian sudah mewakili suara karyawan Kompas, meski ada anjing menggonggong di luar sana. Biar aja, kalau nggak begitu nggak rame. Selamat bekerja untuk kemaslahatan karyawan. Merdeka.

Salam HCB dari Hayam Wuruk,
markas Warta Kota yang 7 Mei lalu genap sewindu dan oplahnya mantap di atas 192.000 perhari.

Wednesday, May 16, 2007

Tamu Terhormat



Pengelola Blog Mediacare

KAMI kedatangan tamu istimewa, blogger yang kami hormati dan kagumi, yakni Radityo Djadjoeri. Dia adalah pengelola blog Mediacare, sebuah blog yang mengupas dunia media massa dalam dan luar negeri. Blog miliknya itu banyak dikunjungi para peminat dan pemerhati media massa dalam dan luar negeri.

Radityo Djadjoeri beberapa waktu lalu berkirim surat. Sebagai pengelola blog dan pemerhati perkembangan media massa tanah air, ia juga mencermati kehadiran blog Insidekompas, sebuah blog "perlawanan" yang lahir karena adanya blog Kompasinside, blog yang isinya tidak lain khusus untuk mendiskreditkan Harian Kompas secara sepihak tanpa perimbangan apapun.

Dalam ilmu komunikasi kita mengenal jargon "Seribu kali kebohongan disampaikan, lama-lama ia akan dianggap sebagai sebuah kebenaran". Ini gaya dikatator Adolf Hitler dalam membohongi rakyatnya. Dan, yang disampaikan Kompasinside adalah ilmu sang diktator itu. Tentu saja kalau dibiarkan ia akan membohongi publik, setidak-tidaknya publik yang membuka blog mereka.

Kami ingin memberi second opinion terhadap pandangan sepihak mereka. Sebab, siapa tahu publik selama ini meyakininya apa yang mereka baca di Kompasinside sebagai sebuah kebenaran. Setidak-tidaknya, baca dulu Insidekompas sebelum sampai pada sebuah keputusan.

Di bawah ini surat yang ditulis Radityo Djadjoeri:

Perang tanding terbukti tak cuma di medan laga. Di kancah blog pun, para blogger bisa sibuk berperang walau tanpa senjata betulan, tapi melalui berondongan kata-kata. Sebagai contoh adalah blog milik pendukung Bang Foke vs pendukung Abu Adang (kebanyakan orang PKS) yang pernah diributkan. Kini muncul pula blog Insidekompas, klik di:
http://www.insidekompas.blogspot.com.

Menurut wartawan Harian Kompas yang mengelola blog tersebut, maksud dibuatnya blog tersebut adalah untuk menangkal informasi sesat yang selama ini telah mendiskreditkan Harian Kompas. "Kami harus menangkalnya, karena tujuan mereka adalah ingin agar Kompas hancur," ujarnya seperti yang ia tuliskan di sebuah milis.

Ia juga mengundang Anda semua untuk menyumbangkan tulisan atau usul atas pendiskreditan itu ke email:
insidekompas@yahoo.com.

Sedangkan blog yang menjadi "lawan" Insidekompas adalah KOMPAS INSIDE yang didukung oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Bisa diklik di:
http://kompasinside.blogspot.com

Selamat menikmati, semoga tidak bertambah bingung.....

Sunday, May 13, 2007

Surat ARB untuk AJI


Mukadimah


Di tengah kesibukannya bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan media massa, Arbain Rambey (ARB), yang namanya sudah harum di jagat fotografi, menyempatkan diri menulis surat untuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Surat ini dimaksudkan untuk menjawab permintaan P. Bambang Wisudo (WIS) yang meminta ARB selaku ketua panitia pemilihan raya untuk memilih ketua baru PKK membatalkan pemilihan raya itu (lihat postingan sebelumnya). Berikut suratnya...

ARB Jawab WIS

Rekan-rekan, maaf baru menjawab sekarang karena saya baru saja pulang dari Banjarmasin dan Jepara urusan liputan. Selama di sana, tidak sempat buka email.

Secara singkat, saya jawab bahwa saya bukan mengangkat diri sebagai Ketua Pemilu KOMPAS. Saya diminta beberapa orang menjadi Ketua. Saya sempat menolak karena sibuk, namun dengan jaminan bantuan banyak rekan akhirnya saya bersedia. Kenyataannya, saat kampanye dan saat perhitungan suara saya sedang di luar Jakarta.

Hanya satu yang mau saya tegaskan di sini. Saya sedang melakukan kerja UNION. Saya sedang bekerja untuk Serikat Pekerja KOMPAS. Saya sedang bekerja untuk 768 dari 913 karyawan KOMPAS yang antusias melakukan Pemilu dengan memberikan suaranya. Yang tidak memberikan suara pun sebagian besar karena sedang jauh dari "kotak suara".

Kadang saya bingung. Yang UNION itu yang 768 orang atau pengurus yang hanya segelintir orang?

Monday, May 7, 2007

Surat WIS untuk ARB


"PKK Adalah Saya"

Repot-repot pake dilogis-logiskan. ujung-ujungnya: "PKK adalah Saya".

DEMIKIAN surat Yunas Santhani Azis (YNS), kepala biro Kompas wilayah Kalimantan, menanggapi surat P. Bambang Wisudo (WIS) untuk Arbain Rambey (ARB). Surat WIS itu dipostingkan Jannes Eudes Wawa (JAN) di milis Kompas.

"PKK adalah Saya". Itulah kalimat kunci yang disampaikan YNS. Singkat, tepat, dan kena sasaran. Kalimat itu ditujukan pada ketidaksetujuan sekaligus protes WIS terhadap ARB dan rekan-rekannya yang menyelenggarakan pemilihan raya. Pemilihan raya itu sendiri menghasilkan ketua PKK yang baru, Tjahja Gunawan (GUN) menggantikan ketua lama, Syahnan Rangkuti (SAH).

Mengapa WIS protes terhadap pemilihan raya itu? Setidak-tidaknya membuktikan dugaan tak terkatakan selama ini bahwa "PKK adalah Saya", dengan kata lain "PKK itu milik saya". Masih ingat 'kan kalimat raja absolut Perancis terkenal, Louis IV, "L'etat c'est moi!", "negara adalah saya!". Kita tahu, tabiat raja itu lebih buruk dari diktator. Apa bedanya dengan kalimat "PKK adalah saya"? Setali tiga uang alias sami mawon.

Ada kata-kata "pemilihan liar" dalam surat WIS itu. Tetapi itu tentu saja tergantung dari sisi mana melihatnya. Bagi mayoritas wartawan/karyawan Kompas, pemilihan itu legal dan antusiasme pemilih mencapai lebih dari 80 persen, dan tentu saja bukan pemilihan liar. Simak pula, dalam surat itu WIS tidak pernah menyebut kata "perpanjangan" kepengurusan PKK yang dilakukannya. Karyawan Kompas juga bisa dengan enteng menganggap perpanjangan kepengurusan itu sebagai "perpanjangan liar". Tetapi sudahlah, hal itu tidak perlu dikatakan, cukup dalam hati saja!

Sedangkan Putu Fajar Arcana (CAN), wakabiro Kompas Yogyakarta berkomentar atas surat WIS kepada ARB dengan kalimat: alah wis-wis kon iki makin ngrusak wae....(opo ora ono kerjaan sing genah toh). ojo isone ngrusuhi tok.


Berikut surat WIS kepada ARB selengkapnya:


Jakarta, 7 Mei 2007

Kepada Yth.
Sdr. Arbain Rambey
Redaksi Harian Kompas
di Jakarta

Hal : Protes terhadap Penyelengaraan Pemilihan Pengurus

Dengan hormat,

Sebagaimana informasi yang telah saya dengar, Saudara secara sepihak telah mengangkat diri Anda sebagai panitia pemilihan pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas dan telah menyelenggarakan pemilihan tanpa seizin dan tanpa melibatkan pengurus yang sah. Tindakan Anda bersama tim maupun para calon yang maju dalam pemilihan merupakan sebuah tindak sesuai kelaziman berorganisasi dan tidak sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perkumpulan Karyawan Kompas.

Seperti telah Anda ketahui, kepengurusan Perkumpulan Karyawan Kompas baru berakhir pada 31 Juli 2007, sebagaimana telah dicatatkan pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Pusat. Tindakan Anda bersama kawan-kawan mengadakan pemilihan pengurus secara liar telah menyebabkan hak memilih dan hak dipilih yang masih saya miliki, seperti juga diatur dalam AD-ART Perkumpulan Karyawan Kompas, juga diabaikan. Seharusnya Anda bersabar, karena perusahaan telah mengajukan gugatan pemecatan terhadap saya di Pengadilan Hubungan Industrial dan sidang seharusnya mulai digelar Kamis 3 Mei. Sebagaimana ketentuan perundang-undangan, pengadilan akan memutuskan kasus ini maksimal selama 50 hari.

Pemilihan pengurus secara liar ini bisa dikategorikan sebagai tindakan penghalang-halangan berserikat (union busting) yang diancam hukuman pidana kurungan maksimal lima tahun. Tindakanini sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang anggota Aliansi Jurnalis Independen.

Apabila pengadilan tingkat pertama mengabulkan gugatan perusahaan, saya persilahkan pemilihan diadakan sekalipun belum ada putusan tetap pengadilan demi kepentingan yang lebih besar. Melihat peluang saya untuk memenangkan pengadilan PHI sangat besar, tindakan Anda dan kawan-kawan jelas merugikan dan melanggar hak-hak saya sebagai karyawan yang berhak memilih dan dipilih. Tindakan Anda melakukan pemilihan pengurus secara liar juga akan membahayakan keberadaan Perkumpulan Karyawan Kompas sebagai serikat pekerja yang independen.

Oleh karena itu saya minta agar pemilihan pengurus yang telah Anda selenggarakan segera dinyatakan dibatalkan. Selambat-lambatnya tiga hari setelah surat ini saya sampaikan, jika tuntutan saya tidak dilaksanakan sayaakan memperkarakan kasus ini secara hukum, termasuk pimpinan Kompas yang telah mendorong pemilihan liar ini diselenggarakan.

Hormat Saya,

Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas


(P. Bambang Wisudo)

Sunday, May 6, 2007

"Post Festum" Pemilihan Raya




Tjahja Gunawan Ketua Baru PKK

Tjahja Gunawan, wartawan senior yang kini menjabat wakil kepala desk ekonomi Harian Kompas, terpilih sebagai Ketua Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) yang baru, menggantikan Ketua lama PKK, Syahnan Rangkuti. Tjahja yang biasa disapa GUN, meraih kurang lebih 40 persen suara dari empat kandidat lainnya.

Berikut laporan Panitia Pemilihan Raya Ketua PKK, Tri Agung Kristanto (TRA), kepada seluruh karyawan Kompas:

Setelah ditunggu-tunggu, kertas suara pemilihan Ketua Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) Periode 2007-2009 dari daerah pemilihan Sumatera agian Utara akhirnya diterima panitia pada hari Sabtu.

Dengan disaksikan as Mul, Pak Dar, Mas Heru, Edn, dan sejumlah teman lainnya, kertas suara dibuka dan dihitung. Dari Sumbagut masuk 13 suara, dengan rincian:

1. Frans Mentasir 0 (Jumlah akhir 101 suara)
2. R Adhi Kusumaputra 0 (Jumlah akhir 153 suara)
3. M Rivan 0 (Jumlah akhir 15 suara)
4. Jannes Eudes Wawa 1 (Jumlah akhir 121 suara)
5. Tjahja Gunawan 5 (Jumlah akhir 321 suara)

Abstain/Rusak 7 (Jumlah akhir 51 suara)
Total Suara Akhir 762 (Tujuh Ratus Enam Puluh Dua)
Suara Pemilih Terdaftar 768 (Yangmengisi daftar pemilih)
Karyawan Terdaftar 913 orang
Tingkat partisipasi 762/913 x 100%= 83,46 %

Terima kasih untuk partisipasi dan bantuan teman-teman. Panitia sesuai jadwal akan menetapkan hasil akhir pemilihan ini pada tanggal 7 Mei 2007.

Salam,Tra
Panitia Pemilihan


Sesuai kesepakatan, kartu suara Pemilihan Ketua Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) Periode 2007-2009 dibuka dan dihitung pada hari Jumat, 4 Mei2007 ini. Sekedar mengingatkan, calon Ketua PKK periode 2007-2009, adalah:
(1) Frans Mentasir
(2) R Adhi Kusumaputra
(3) M Rivan (mengundurkan diri)
(4) Jannes Eudes Wawa
(5) Tjahja Gunawan

Sampai Jumat, 4 Mei 2007 pukul 16.30, karyawan yang terdaftarmenggunakan hak pilih atau mengambil kartu suara, adalah 768 orang dari 913 karyawan Kompas yang mempunyai hak pilih atau sekitar 84,11 persen. Tetapi, tidak semua mengembalikan kertas suaranya, karena berbagai alasan. Ada yang ingin menyimpan sebagai kenang-kenangan, ditolak memasukkan kertas suaranya karena terlambat (melewati tanggal 3 Mei 2007 sebagai batas akhir pengumpulan suara), atau ingin netral.

Dari 19 daerah pemilihan yang disiapkan, ternyata di lapangan berkembang menjadi 21 daerah pemilihan, karena Litbang dan Ekspedisi berdiri sendiri menjadi daerah pemilihan. Sampai akhir perhitungan sementara, tinggal daerah pemilihan Sumatera BagianUtara yang belum melaporkan hasil perhitungannya, karena kertas suarase luruhnya langsung dikirimkan ke Jakarta tanpa dihitung lebih dahulu di daerah pemilihan.

Adapun hasil perhitungan sementara sesuai daerahpemilihan, adalah:
1. Frans 101 suara
2. Ksp 153 suara
3. Rivan 15 suara
4. Jan 120 suara
5. Gun 316 suara
Abstain/rusak 44 suara
Total 749 suara

Mas Mba menginformasikan dari Sumatera Bagian Utara ada 15 pemilih. Berarti ada empat orang pemilih yang tidak mengembalikan kertas suaranya dengan berbagai pertimbangan.

Panitia akan mengadakan rapat terbuka untuk menetapkan hasil pemilihan ini pada Hari Senin, 7 Mei 2007 pukul 14.00 di Lantai III Gedung Kompas. Semoga kiriman suara dari Sumbagut sudah sampai, sehingga ada perhitunganfinal. Pada saat itu akan disampaikan distribusi suara selengkapnya sesuai daerah pemilihan/unit.

Kepada Ketua PKK periode 2007-2009 diberikan kesempatan untuk menyusun "kabinet"-nya selama sebulan (30 hari) sejak ada penetapan hasil pemilihan.

Terima kasih untuk partisipasi dan antusiasme teman-teman dalam pemilihan Ketua PKK kali ini.

Salam, Tra
Panitia Pemilihan

Wednesday, May 2, 2007

2806 Karakter (6)


Pemilihan Raya

BERTEPATAN dengan Hari Buruh se-Dunia yang biasa disebut May Day, 1 Mei, di Harian Kompas berlangsung pemilihan raya. Disebut pemilihan raya, sebab inilah pesta demokrasi dua tahunan karyawan Kompas untuk memilih ketua Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) yang baru.

Pemilihan 1 Mei sebagai hari pertama pemilihan raya yang ditetapkan panitia tentu saja ada maksud khusus. Maksud khusus itu bukan bermaksud mengolok-olok hari buruh itu sendiri, tetapi justru turut memperingati hari buruh, sebab karyawan Kompas juga termasuk buruh. Bahkan, pemilihan raya berlangsung tiga hari, hingga 3 Mei.

"Seharusnya pemilihan berlangsung 25 April lalu. Akan tetapi, karena ingin semuanya terbuka, maka pemilihan digelar satu hingga tiga Mei," kata Tri Agung Kristanto, anggota panitia pemilihan bidang verifikasi calon dan pemilih, yang biasa dipanggil Tra.

Pemilihan itu sendiri berlangsung meriah, tetapi tetap tertib dan aman. Tidak ada demo liar. Antusiasme karyawan terlihat saat mereka antri menyalurkan hak demokrasi mereka, termasuk Rien Kuntari, Adi Prinantyo, Nurhidayati, dan Arbain Rambey. Arbain adalah ketua panitia pemilihan. Dotty Damayanti, pengurus PKK lainnya, sedang berada di luar negeri. Salomo Simanungkalit menolak untuk memilih, demikian juga Syahnan Rangkuti. Tidak ada kabar apakah Luhur dan Anung Wedyantoko, anggota PKK lama, turut berpartisipasi dalam pesta demokrasi di Kompas ini.

"Wisudo yang masih tercatat sebagai karyawan juga kami SMS untuk diajak memilih, tetapi yang bersangkutan tidak menjawab," kata Tri Agung mengenai Wisudo.

Sempat ada sas-sus pemilihan raya ini sebagai bentuk dari kudeta telanjang untuk mendongkel pengurus PKK lama. Yah, tergantung darimana melihatnya. Bagi sebagian pengurus PKK lama, mungkin ini kudeta karena mereka masih merasa menjadi pengurus PKK. Sementara dari mereka yang menghendaki pemilihan raya, tentu saja ini hak pengembalian demokrasi yang "diserobot" PKK lama yang secara sepihak memperpanjang kepengurusannya hinga enam bulan.

Orang luar yang tidak tahu menahu isi Kompas dan hanya mengandalkan kesoktahuan mereka, mereka-reka dan berkhayal bahwa Kompas melakukan union busting, pemberangusan serikat pekerja. Ah... tidak ada pemberangusan sarekat pekerja! Bagaimana mungkin karyawan Kompas membiarkan PKK memperpanjang kepengurusannya. Bukankah menunjukkan bahwa PKK masih ada. Benar-benar buta orang yang mengatakan telah terjadi pemberangusan serikat pekerja di Kompas. Apakah PKK itu serikat pekerja? Sepertinya harus ditanyakan pada rumput yang bergoyang.

Kini seluruh karyawan Kompas menunggu siapa yang bakal jadi ketua PKK baru, apakah Frans Mentasir, Adhi KSP, Tjahja Gunawan, atau Jannes Eudes Wawa setelah Rivanto mengundurkan diri. Siapapun yang terpilih, setidak-tidaknya harapan karyawan Kompas adalah pengurus PKK yang baru nanti benar-benar akan menjadi "jembatan" kepentingan seluruh karyawan. Tidak menghabiskan waktu dan energi untuk membela kepentingan satu orang atau segelintir orang saja, tetapi benar-benar kepentingan seluruh karyawan. Kita tutup lembaran lama dan mulai membuka lembaran baru.

Meski demikian, dengan segala rasa hormat, kami ucapkan terima kasih kepada pengurus PKK lama yang setidak-tidaknya memiliki sejumlah program yang sempat direalisasikan, baik yang terasa langsung maupun yang tidak.

Selamat jalan PKK lama, selamat datang PKK baru!

Monday, March 26, 2007

Aji Mumpung AJI


"O-Te"

KALA Soeharto berkuasa, wartawan wajib menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), satu-satunya organisasi profesi wartawan yang diakui pemerintah. Di luar itu, selain haram hukumnya, juga harus menghadapi kematian sejak dalam kandungan. Harmoko, menteri penerangan sejak 1983 yang mantan Ketua PWI, adalah penjaga gawang pers yang kelewat sadis, sehingga apa yang termuat di media massa adalah hasil dari saringannya.

Untuk itulah, salut kita serukan pada para pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang berani mendobrak benteng tirani rezim saat itu dengan mendirikan organisasi profesi wartawan di luar PWI. Tekanan demi tekanan dari penguasa pasti datang dengan sendirinya. Majalah bawah tanah "Independen", majalah yang dicari-cari saat itu khususnya pascabreidel Tempo, Editor dan Detik.

Salut diberikan pada pendirinya yang gagah berani. Dari Kompas, tercatat nama Satrio Arismunandar (RIO) dan Dhia Prakesa Yudha (DPY) sebagai pendirinya, plus beberapa simpatisan lainnya. Mereka berani menyatakan keluar dari Kompas, setelah mendapat kompensasi tentunya, atas perjuangannya itu. Pendeknya, salut diberikan kepada mereka, sekaligus kepada organisasi profesi wartawan yang mereka dirikan, AJI.

Tatkala Soeharto tumbang dan rezim datang silih berganti, nyatalah bahwa AJI memetik hasil dari perjuangannya itu. Ia menjadi organisasi wartawan yang tiada tandingnya. PWI tenggelam dengan sendirinya, meski tetap eksis di bawah kepemimpinan Tarman Azzam. AJI menjulang sendirian, menenggelamkan organisasi-organisasi profesi wartawan lainnya. AJI kini di bawah kepemimpinan.... (maaf tidak tahu), masih berkibar di atas langit dengan seruan-seruannya.

Bedanya, dulu seruan AJI menyejukkan dan memberi solusi, sekarang seruan AJI lebih mirip provokasi, beropini, memelintir fakta, tunduk pada kehendak seseorang, dan membuat seruan sepihak tanpa berupaya mengecek ulang, yang hakikinya kewajiban wartawan untuk melalukan cover both side. Bukankah organisasi ini beranggotakan wartawan-wartawan hebat yang seharusnya tahu "hukum" pers yang paling dasar itu.

Ambil contoh kecil saat AJI meng-condem bahwa satuan pengamanan (Satpam) Kompas "memiting", "meringkus", dan "membopong" Paulus Bambang Wisudo, wartawan Kompas yang dipecat dengan tidak hormat, yang tidak pernah menghubungi Satpam Kompas. AJI begitu percaya kepada ocehan mulut satu orang, langsung membuat pernyataan provokatif, menyulutkan Total War, yang justru sangat berkebalikan dengan semangat AJI selama ini yang mengusung "peace journalism". Dimana sekarang jurnalisme damai diletakkan saat Total War langsung dimuntahkan?

Saat ditanyakan kepada Satpam Kompas yang katanya "memiting" dan "meringkus" Wisudo, jawabnya hanya senyum dikulum saja. Salah seorang di antara Satpam itu bilang, "Si Wisudo itu pinter main sandiwara, wong dia menjatuhkan dirinya sendiri lalu teriak-teriak seakan-akan dianiaya, padahal kita mencoba menyuruhnya berdiri. Tetapi tidak mau dan meronta-ronta seperti anak kecil. Ya kita boponglah."

Main sandiwara? Itulah bahasa Satpam. Barangkali bahasa kerennya adalah "happening art", sebuah seni teatrikal yang biasa dimainkan pendemo di jalan-jalan. Main sandiwara tentu saja bermakna pura-pura, bukan kejadian sesungguhnya. Kita tentu tidak akan menemukan pernyataan Satpam dengan puluhan saksi di koran-koran, di blog, atau media lainnya (rekaman video kelak mungkin akan menjelaskan secara gamblang hal ini). Yang ada hanyalah pernyataan Wisudo sepihak. Dan, itulah yang dijadikan kesimpulan banyak orang, termasuk AJI, membawa kata kunci "penganiayaan" ini kemana-mana, menjualnya demi menarik simpatik massa, sekaligus mengibarkan bendera Total War.

Padahal, tidak ada asap kalau tidak ada api. Ambil contoh kecil lagi yang tidak pernah terungkap. Beberapa saat sebelum pemecatan berlangsung, Wisudo mengundang puluhan aktivis untuk mengadakan pertemuan di Gedung Kompas. Tidak ada bahasa, tidak ada cerita, apalagi sopan-santun kepada pengelola gedung untuk meminta izin, meski memang saat itu Wisudo masih tercatat sebagai karyawan Kompas. Bayangkan, dimana sopan-santun diletakkan oleh seorang terpelajar dan hero seperti Wisudo? Memangnya Gedung Kompas itu punyanya? Punya mbahnya? Lalu dengan seenaknya dia menempelkan selebaran dimana-mana, di seluruh lantai di Gedung Kompas.

Cobalah AJI belajar berempati, lantas sesekali menempatkan dirinya sebagai Satpam (bukan sebagai wartawan yang hebat?). Sebagai Satpam, apa yang Anda akan lakukan ketika menghadapi ulah seseorang seperti Wisudo di tempat yang menjadi tanggung jawab Anda. Membiarkan dia seenaknya menempelkan selebaran? Membiarkan satu atau beberapa ruang kantor itu untuk diduduki tanpa izin sebelumnya? Atau menegurnya sesuai kapasitas Anda? Jika yang ditegur tidak mau, berontak dan menjatuhkan dirinya sendiri (happening art?), apa pula yang Anda akan lakukan. Membiarkan dia meronta-ronta seperti anak kecil di tengah keramaian suasana kerja?

Mestinya, sebagai organisasi profesi wartawan yang sudah berada di atas angin dan nyaris tanpa ada saingan berarti, AJI (atau orang-orang AJI), sering-seringlah melakukan advokasi sehingga menarik simpatik banyak wartawan berbagai media massa untuk masuk menjadi anggotanya, bukan malah melakukan provokasi dan menghasut.

Tidak pernah AJI bayangkan, hampir seluruh wartawan Kompas dan wartawan media massa lainnya yang segrup dengan Kompas, langsung antipati terhadap AJI (kecuali simpatisan Wisudo), dimanapun AJI berada. Bagaimanapun, setiap individu yang bergabung dalam komunitas tertentu (baca Kelompok Kompas Gramedia/KKG), memiliki l'esprit de corps, semangat kelompok, sendiri-sendiri secara alamiah. Ketika kelompok itu ditekan dan dihina, memang menghasilkan beberapa personil yang cuwek, tidak mau tahu, dan merasa bukan urusannya.

Tetapi ingat, dari kelompok ini juga akan menghasilkan orang-orang "fundamentalis", yang siap bertahan dengan seluruh jiwa-raga tatkala rumah tempat mereka bernaung diserang lawan. Dengan semangat kelompok itu pula, di dalam kelompok KKG kita bisa mengibarkan semangat boikot terhadap apapun yang berbau AJI. Tengoklah kenyataan beberapa kali Biro Kompas di Yogyakarta bahkan sampai ke Toko Buku Gramedia yang didemo anggota AJI. Menyakitkan.

Ini sungguh menciptakan antipati yang luar biasa. Subyektivitas kita sebagai kelompok mengatakan: memangnya kita tidak bisa melakukan hal seperti AJI? (mesti tentu saja norak).

Lembaga-lembaga manajemen, diklat, rekrutmen, sumberdaya manusia Kompas dan kelompoknya, bisa saja kita provokasi agar tidak memberi tempat kepada AJI dan organisasi-organisasi pendukungnya. Setidak-tidaknya, kita jadikan AJI sebagai "OT" (baca "O-Te") alias organisasi terlarang bagi mereka yang berada di bawah naungan KKG. Sebagai "OT", kita bisa melakukan "sweeping", setidak-tidaknya pendataan terhadap orang-orang KKG yang telanjur menjadi anggota AJI. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah.

Kita bisa menekan manajemen, diklat, rekrutmen dan sumberdaya manusia di seluruh KKG agar ke depan tidak lagi memberi jalan kepada AJI dan kelompok pendukungnya. Yang sudah telanjur masuk AJI, kita bina dari dalam dan mengupayakan mereka kembali ke jalan yang benar.

Memang, tidak ada cara lain selain memberi pelajaran (baca pembalasan) dengan cara itu, meski terasa norak. Anggap saja ini pembalasan terhadap perlakuan AJI yang sudah kelewat batas: menyakitkan hati ribuan orang hanya untuk menyenangkan satu orang saja!

Friday, March 23, 2007

Surat Terbuka CAN


Mukadimah:
Saat segerombol pendemo berunjuk rasa di depan Gedung Kompas Gramedia, tampil antara lain sebagai penyampai pesan Paulus Bambang Wisudo. Ternyata, pernyataannya bahwa dia pernah ditawari perusahaan uang pesangon sampai 20 tahun, yang berarti kurang lebih Rp 2,3 miliar dengan asumsi gaji per bulannya Rp 9,5 juta, memancing tanggapan sejumlah wartawan. Salah satunya adalah dari Putu Fajar Arcana (CAN), Wakabiro Kompas di Yogyakarta, yang menyilakan suratnya di milis interen Kompas, dimuat dan disebarluaskan di blog ini. Berikut isi suratnya:

Surat untuk WIS

ADUH Wis, makin hari kamu kok makin brutal begini. Seandainya pun benar kami yang bertanda tangan dan menyebutmu sebagai petualang, itu melanggar hak asasi manusia (itu tentu tuduhan paling kejam), apa bedanya dengan kamu? Dengan tuntutan yang kian tak masuk "akal orang sehat" itu, kamu makin menunjukkan siapa sesungguhnya kamu.

Terus terang pada awal kasus ini bergulir aku "sempat" bersimpati atas perjuangan dan keberanianmu memperjuangkan apa yang menurut kamu pantas diperjuangkan. Tapi semakin hari kamu semakin lepas kendali. Dan sekarang, semuanya menjadi liar.

Aku semakin tidak mengerti apa sesungguhnya yang kamu cari? Dalam dirimu ada paradoks besar, yang barangkali tak pernah kamu sadari. Tuntutan minta dipekerjakan kembali di Kompas, kendati mungkin ini sebatas mengukuhkan posisi tawarmu pada perusahaan, juga tak bisa kupahami.

Bagaimana mungkin seseorang yang mengecap perusahaan ini berkhianat dan gembar-gembor di jalanan agar orang memboikot Kompas, tiba-tiba ingin kembali di dalam. Di dalam sebuah perusahaan yang kamu caci-maki, yang sudah pasti menurut kamu tidak pantas untuk tempat berlindung. Pada saat bersamaan kamu juga mengecap perusahaan ini sebagai penjajah dan harus enyah dari muka bumi. Ini apa coba? Ia tidak sekadar kekerasan, tetapi sebuah kebrutalan yang diteriakkan oleh sekelompok orang jalanan.

Kalau benar perusahaan ini menginjak-injak, dalam logika paling sederhana saja, pertanyaanku, mengapa pula kamu ingin kembali? Wis, kamu tidak akan kembali sebagai pahlawan bagi saya, tetapi tikus kecil yang merengek-rengek minta dikasihani.

Cara yang kamu pakai dengan menggelar demonstrasi terus-menerus bukan saja tidak menghargai proses perundingan dan peradilan yang sedang berlangsung, tetapi jelas ini bahasa jalanan, bahasa para preman yang ingin memeras para pemilik toko. Jelas bukan cara kaum intelek, sebagaimana yang melekat selama ini pada dirimu. Jika pun kamu mengklaim bahwa demonstrasi sah-sah saja secara hukum, tetapi sebagai orang yang bekerja dan bergelimang dalam dunia intelektual, tidakkah cara-cara ini merendahkan dirimu? (Saya tidak tahu apakah kamu masih mempedulikan soal-soal ini).

Paradoks lainnya, dengan tuntutan pesangon sebanyak 20 tahun (kira-kira nilainya Rp 2,5 miliar), dengan syarat lain tidak dipecat tapi diminta mengundurkan diri bersama-sama TOM, hanya mencoreng perjuangan intelek yang selama ini kamu gembar-gemborkan. Sangat berbau materialistik.

Tidak salah jika aku mengecapmu sebagai "pejuang" materialis yang berkedok "intelek". Sungguh patut disayangkan, kamu mencoreng arang muka sendiri.... Seandainya pun perusahaan "mengalah" dan menerimamu kembali, barangkali banyak kawan yang bakal melemparmu kembali ke jalanan, karena memang di situ tempatmu...

Wednesday, March 21, 2007

Pembajakan Nama KOMPAS


Hati-hati Penipuan!

TERKAIT dengan pencatutan nama KOMPAS akhir-akhir ini, kami mengingatkan agar semua pihak hati-hati dengan kehadiran segelintir orang yang menamakan diri KOMPAS, yang mendatangi sumber/narasumber, lembaga swasta, lembaga legislatif, atau instansi pemerintah dengan maksud menipu bahkan memeras, bukan untuk meliput atau memperoleh berita.

Setiap wartawan Harian Kompas dalam menjalankan tugasnya selalu dilengkapi identitas berupa kartu wartawan, kartu nama Harian Kompas
, maupun ID Card perusahaan. Berbagai identitas profesional itu bisa diminta untuk ditunjukkan setiap saat, jika sumber/narasumber ragu atas keberadaannya.

Terima kasih.



Monday, March 19, 2007

2806 Karakter (5)

Pesangon Rrruaaarrr... Biasa!

KAMIS, 15 Maret 2007 siang, Gedung Kompas Gramedia di Jalan Palmerah Selatan 26-28 Jakarta kembali didatangi seratusan pengunjuk rasa dari berbagai elemen, khususnya elemen buruh. Inti dari keinginan pengunjuk rasa adalah agar Kompas memperkerjakan kembali seorang wartawannya yang dikeluarkan perusahaan, Paulus Bambang Wisudo, dan mengecam Kompas yang katanya telah melakukan union busting (tuntutan ini pasti salah alamat).

Tentu saja yang paling membetot perhatian adalah tampilnya WIS, demikian Wisudo biasa dipanggil, di atas mobil terbuka untuk berpidato. Salah satu hal yang menarik perhatian adalah pernyataannya, bahwa ia ditawari manajemen Kompas pesangon 20 tahun yang kemudian ditolaknya. WIS baru mau menerima pesangon itu kalau dia dan Pemred Kompas Suryopratomo sama-sama mundur. Tuntutan yang pasti membuat siapapun yang mendengarnya senyam-senyum.

Hitung punya hitung, kalau dia bergaji pokok Rp 9.467.000 per bulan sebagaimana terungkap dari surat Disnaker Jakarta tempo hari, maka uang sebesar itu dikalikan dengan 12x20. Maka, ketemulah angka Rp 2,3 miliar!

Sungguh, angka yang fantastis dan membuat "iri" siapapun, membuat "kagum" dan terperangah karyawan lainnya. Nakal-nakalnya karyawan berpikir, "Sudah kita ikuti saja langkah WIS dengan cara membangkang, menolak tugas, dan memobilisasi massa untuk menghina Kompas, toh nanti dapat pesangon segede raksasa."

Kalau apa yang dikatakannya benar bahwa perusahaan menawarinya 20 tahun pesangon, bisa saja karyawan lain terinspirasi oleh "heroisme" perjuangannya. Tetapi, karyawan yang masih berpikir waras, tentu saja tidak akan terpengaruh begitu saja atas pernyataan yang lebih bernuansa igauan daripada kenyataan ini, yang kemudian mengikuti langkahnya.

Uang pesangon selama 20 tahun yang sebesar Rp 2,3 miliar dan diucapkan di depan massa, tentulah membuat para pengunjuk rasa berdecak kagum: betapa baik hatinya sebuah perusahaan yang namanya Kompas. Hem, kemana ya bakal larinya sebagian dari uang sebesar itu?

Ah, itu kalau benar ada, itu kalau benar perusahaan bakal memberinya 20 tahun pesangon, sebuah rekor besaran pesangon yang luar biasa dan sangat layak masuk MURI.

Tidak ada kata lain, mari ikuti kejutan-kejutan atas pernyataan-pernyataan lainnya dari aksi-aksi massa yang mungkin akan terus berlanjut, sampai mereka bosan sendiri.

Memang saat setiap unjuk rasa berlangsung di depan Gedung Kompas Gramedia, sementara karyawan yang turut menyaksikan unjuk rasa bergumam: "Kita balas saja dengan unjuk rasa serupa di sini, unjuk rasa menolak kehadiran WIS di perusahaan ini meski manajemen memperkerjakannya kembali, memangnya cuma mereka saja yang bisa unjuk rasa!"

Tidak usahlah, tidak usah demo dibalas demo, unjuk rasa dibalas unjuk rasa. Sebab kalau itu yang dilakukan, apa bedanya kita dengan para pengunjuk rasa? Bukanlah lebih baik dibiarkan begitu saja demo berlangsung. Tonton sajalah. Anggap saja itu hiburan gratis, sebab banyak di antara mereka yang punya bakat sebagai orator, dan bahkan aktor.



Monday, March 12, 2007

Penolakan Itu

Nurani Bicara

PADA akhirnya nuranilah yang bicara. Seruan itu akhirnya datang juga: tolak!

Penolakan itu terkesan sangat tidak manusiawi, seakan-akan tidak menghormati hukum. Tetapi, dimana nurani diletakkan ketika dengan santainya kaki melangkah memasuki sebuah kantor yang sebelumnya sudah nyaris dia "bakar" dengan seisi penghuninya yang telanjur kena caci-maki, dihina, dan direndahkan?

"Kalau saya BAMBANG WISUDO alias WIS: SAYA AKAN MERASA SANGAT-SANGAT-SANGAT MALU UNTUK BEKERJA LAGI DI KOMPAS. SAYA KOK MERASA SENIOR, tetapi MENGHINA KOMPAS. IYA, SAYA PANTAS MALU..." Demikian kata Pascal (CAL) menanggapi "kemenangan" Wis di Disnaker.

Luki Aulia (LUK), wartawan muda yang mengaku gumun dengan gaji pokok Wisudo yang hampir Rp 10 juta/bulan itu berteriak... "Waaaa, lha ya panteslah berjuang keras masuk sini lagi... lha wong gajinya itu lho...ya ampyuuunn... mau doooooong... hehehe..."

Robert Adhi KSP yang mengaku rakyat biasa cinta damai menulis: "Saya masih tidak habis pikir pada jalan pikiran Wisudo. Jadi, sungguh aneh jika dia diterima lagi di Kompas, yang sudah dia jelek-jelekkan sampai seantero dunia. Bacalah LabourStart.com, bacalah dotcom-dotcom lainnya yang bisa diakses siapapun di seantero bumi ini. Kalau dia diterima di Kompas lagi, jangan-jangan seisi Kompas ini dia 'bakar' lagi, dia provokasi lagi, dia racuni lagi".

Rizal Layuck (ZAL) menulis: "Kalo maksa terus, artinya Wisudo memiliki KEPRIBADIAN GANDA? Pertama, gak tahu malu, hipokrit dan senang melihat orang susah (smos). Negara hancur karena petinggi negara, provinsi dan kota/kabupaten kini berpribadi ganda, bukan hanya di Kompas lho!"

Memang sulit membayangkan seseorang yang sudah menyumpahi dan meludahi perusahaannya sendiri, memobilisi massa untuk membangun opini negatif dan kampanye hitam tentang perusahaan tempat dia bekerja, serta merendahkan pegawai kecil seperti Satpam, bisa melenggang masuk gerbang perusahaan.

Lantas ia duduk manis di atas kursi kerja, kursi yang sebelumnya nyaris dia "bakar" dengan seisi kantornya, lantas menerima gaji pokok Rp 10 juta (plus tunjangan lainnya) perbulan. Kalau begini caranya, mungkin benar apa yang dikatakan LUK bahwa dia masih sayang dengan gaji yang diterimanya tiap bulan itu?

Seandainya ada perusahaan lain yang bisa menggaji WIS lebih besar dari jumlah itu, barangkali ia tidak harus menggalang massa untuk menghina perusahaan tempat dia pernah bekerja, dan ironisnya agar bisa kembali masuk bekerja. Sayangnya, TIDAK ADA satu pun perusahaan pers YANG SUDI menampungnya bekerja, apalagi harus membayar dengan gaji sebesar itu. Sebab, hanya perusahaan pers yang tolol saja yang mau menerima dia bekerja!

Sekarang, perlawanan sebagian besar karyawan terhadap "kemenangan"-nya di Disnaker mulai menggelinding. Opini mau tidak mau harus dilawan opini. Itu hukum alam. Bagi perusahaan, tidak ada kata lain selain terus FIGHT, jangan menyerah dan jangan mengabulkan permintaan dia agar kembali masuk bekerja, kecuali kalau perusahaan ini tidak mau menghargai dan menghormati ribuan karyawannya!

Imbauan HCB

Minta "Legowo"

BAGI tuan-tuan atau nona yang masih punya kontak dengan Wisudo, tolong sampaikan pesan ini. "Wisudo, sudahlah. Anda itu sudah menjelek-jelekkan perusahaan di luar, sudah memaki-maki pimpinan sendiri kok masih mau gabung?

Kalau tidak salah Anda pernah menyebut KKG itu kapitalis gendut yang cuma mau cari untung, tidak memperhatikan karyawan dsb. Logikanya, Anda tidak akan mau lagi dong kerja di tempat yang tidak sesuai dengan idealisme Anda.

Meskipun itu mungkin hak (?) sebagaimana dianjurkan oleh panitia perselisihan Disnaker, sebaiknya Anda legowo saja. Mana enak kerja di tempat yang Anda tidak diterima oleh (sebagian besar) rekan kerja lain.

Salam dari Hayam Wuruk,
Markas WARKOT yang heboh tapi damai
Oplah mulai konsisten di atas 190.000

HCB

Catatan Moderator:
postingan bisa tampil di sini setelah meminta izin HCB

Saturday, March 10, 2007

2806 Karakter (4)

"Kemenangan" Akibat Tekanan

PUTUSAN Disnaker yang "memenangkan" Paulus Bambang Wisudo disambut dingin oleh mayoritas karyawan Kompas. Milis karyawan yang biasanya antusias menghadapi isu-isu hangat, juga sepi-sepi saja. "Kemenangan" itu jauh-jauh sudah dapat diduga karena Disnaker tidak akan tahan menghadapi tekanan masif massa. Dalam keadaan tertekan seperti ini rasio pun akhirnya bisa terkalahkan.

Putusan keharusan memperkerjakan kembali Wisudo harus dijawab oleh pihak perusahaan, begitulah kira-kira isi putusan Disnaker itu.

Sesungguhnya apa yang diputuskan Disnaker itu hanya sebatas second opinion saja, bukan putusan yang mengikat. Benar, putusan itu akan dijadikan bahan "penguat" di pengadilan oleh pihak yang memenangkan "sengketa" di Disnaker. Akan tetapi, perjalanannya masih sangat jauh.

Tentu saja landasan atau argumen yang dikemukakan Disnaker sangat lemah, yakni berdasarkan Undang-undang No 21 Tahun 2000, bahwa mutasi tidak dibenarkan terhadap karyawan yang kebetulan saat ia dimutasi (atau dipecat), sedang menjadi pengurus serikat pekerja.

Titik lemah itu ada di sini, bahwa Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) BUKAN sebuah serikat pekerja. Ia hanyalah sebuah PAGUYUBAN karyawan yang tidak harus didaftarkan ke Disnaker atau bahkan Depnakertrans.

Karena BUKAN serikat pekerja, seluruh karyawan tidak punya kartu anggota serikat pekerja, tidak punya kewajiban iuran bulanan, dan tidak setiap ada sengketa harus berhubungan dengan paguyuban yang kebetulan bernama PKK. Kami, karyawan, biasanya menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan, dengan pimpinan, dengan para pemegang saham, atau bahkan dengan pemimpin tertinggi perusahaan.

Adakah aturan atau perundang-undangan yang mengatakan bahwa perusahaan TIDAK BOLEH atau DILARANG memutasikan/memecat karyawan yang kebetulan sedang menjadi pengurus paguyuban? Tolong tunjukkan!

Rusdi Mukhtar selaku Kepala Disnaker DKI Jakarta mungkin "miss" dengan kenyataan ini karena tidak bisa berpikir rasional lagi akibat tekanan massa dan opini publik. Bahwa Peraturan Perusahaan sudah kadaluwarsa dua tahun, mengapa Disnaker tidak mengingatkan hal itu sejak awal? Bukanlah sudah kewajiba bagi Disnaker memiliki data seluruh karyawan/buruh di seluruh perusahaan di DKI Jakarta, sekaligus mengingatkan "kelalaian" setiap perusahaan yang belum memperbarui peraturan perusahaannya?

Tentu saja "kemenangan" itu bukan akhir dari segala-galanya. Bagi segelintir karyawan yang simpati terhadap "perjuangan" Wisudo, ini dijadikan tonggak peringatan agar perusahaan tidak semena-mena dalam memecat karyawannya, sebab hal itu bisa saja terjadi pada setiap karyawan. Itu baik. Hanya saja yang harus diingat, tidak akan ada asap api kalau tidak ada api. Hanya manajemen gila dari sebuah perusahaan tolol yang tiba-tiba memecat karyawan yang penuh dedikasi dan tekun bekerja.

Bagaimanapun, karyawan harus tunduk pada aturan perusahaan. Khususnya bagi wartawan, sejak awal sudah harus menandatangani kesediaan dipindahkan/dimutasikan dimanapun.

Jika seseorang mampu menolak penugasan/penempatan, tentulah orang itu sangat luar biasa. Dia bukan karyawan biasa sebagaimana karyawan umumnya. Mungkin dia punya saham, mungkin dia pendiri perusahaan, mungkin dia anggota keluarga dari pemilik perusahaan. Kami yang punya harga diri, kalau memang mau menolak penugasan, kami akan keluar dari perusahaan itu dan mendirikan usaha sendiri meski hanya sekadar perusahaan sandal jepit!

Pada akhirnya kita bisa menemukan "orang'orang yang luar biasa" ini di suatu perusahaan; mereka bebas menolak tugas dan menolak mutasi dengan bersandarkan pada aturan atau perundang-undangan yang tidak ada. Pada akhirnya, orang seperti ini bisa saja diterima kembali bekerja, menerima gaji utuh sebagaimana sekarang meski tanpa harus mengeluarkan keringat setetespun.

Akan tetapi dalam kesehariannya, ia harus berhadapan dengan karyawan yang merasa dihinakan (karena memobilisir orang luar), dengan karyawan kecil seperti Satpam yang sudah dinistakan sampai ke titik nadir, juga dengan sebagian besar karyawan yang pada dasarnya ingin merasakan ketentraman bekerja, bukan terperangkap dalam politisasi segelintir orang yang jelas-jelas punya agenda untuk menghancurkan perusahaan ini dari dalam.

Tuesday, March 6, 2007

Desakan Pemilihan Ketua Baru

Bertambah, Penandatangan Penolakan Perpanjangan Kepengurusan PKK

PENANDATANGAN penolakan sebagian pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) memperpanjang masa kepengurusannya terus bertambah. Sampai Selasa (6/3), penandatangan mencapai 126 dan kemungkinan akan terus bertambah.

Selagi penandatanganan terus berjalan, beberapa karyawan menyurati pengurus PKK (hasil perpanjangan) yang menghendaki segera dibentuknya kepanitiaan untuk memilih Ketua PKK yang baru. Respons dari Ketua PKK (hasil perpanjangan) Syahnan Rangkuti, positif, dimana dikehendaki adanya pertemuan untuk membicarakan hal ini.

Inilah sebagian karyawan yang menolak adanya perpanjangan kepengurusan PKK periode 2005-2007:

1. M Nasir
2. Tjahja Gunawan
3. Agus Mulyadi
4. Adhi KSP
5. Ardus M Sawega
6. Bestari
7. Kartika
8. Galih Smarapradhipa
9. Nur Adji
10. FX Sukoto
11. Teguh Candra L
12. Rosdiana
13. Lusia
14. Retmawati
15. Amin Iskandar
16. Septa Inigopatria
17. Dimas Tri A
18. Didie SW
19. JITET
20. Agus Juliadi
21. Hamzirwan
22. Andi Suruji
23. Windoro
24. Mulyawan Karim
25. Caesar Alexy
26. Mh Samsul Hadi
27. Yesayas O
28. A. Tomy T
29. Luki Aulia
30. Myrna Ratna
31. Rakaryan S
32. Diah Marsidi
33. Fransisca Romana
34. Pepih Nugraha
35. Jannes Eudes Wawa
36. Hariadi Saptono
37. Yuni Ikawati
38. Orin Basuki
39. J. Osdar
40. Banu Astono
41. Setiawan
42. Shofian
43. Brigitta Isworo L.
44. Yunas Santani Aziz
45. Tri Agung Kristanto
46. Mohammad Bakir
47. Antonius Agoeng Priyanto
48. Anton Sanjoyo
49. Tri Harijono
50. Djoko Pournomo
51. Ansel Da Lopez
52. Danu
53. Dahono Fitrianto
54. Irving R Noor
55. Engelinia RK
56. Dian Wulandari
57. Sri Pudjiastuti
58. Bambang Triyono
59. Siti Heras S
60. Dina
61. Titi
62. Nathalia Maria Ayu
63. Abun Sanda
64. H. Irafati
65. Prasetyo EP
66. Budiman Tanurejo
67. Nawa Tunggal
68. Heru Sudarwanto
69. Toto Sihono
70. Dedi Muhtadi
71. D Irianto
72. Bambang Wahyu
73. Tarsius Surono
74. M Syaifullah
75. Tonny D. Widiastono
76. Huli S
77. Fitrisia M
78. Agus Hermawan
79. Kenedi Nurhan
80. Purwoko
81. Anton Sanjoyo
82. Nasrullah Nara
83. Ester Lince Napitupulu
84. Pascal S Bin Saju
85. Susi Ivvaty
86. Iwan Santosa
87. HAR
88. BRE
89. IBRA
90. FAN
91. Sumarnoto
92. Winduadji B
93. Widodo TR
94. AWE
95. Bambang Setiawan
96. Susi Berindra
97. WID
98. NMP
99. Nanie Irene
100. Andreas Maryoto
101. Subur Tjahjono
102. Yovita Arika
103. Winarto H
104. Sugihandari
105. Femedia Tino
106. Budiawan Sidik.
107. Atok Risaptoko
108. Ellya Novita sari
109. Dedi Isdiyanto
110. Ali Warman
111. Cerli Dahlia
112. Dwi Parlina Multatuli
113. T. Surano
114. Sri Nurhajati
115. Eko Kristiyanto
116. Petrus Biantoro
117. Suyanto
118. Djoko Pramono
119. Suyono
120. Wasyono
121. M. Cordiaz
122. Bhekti Sulistyo
123. Aritasius Sugiya
124. Chris Verdiansyah
125. Irwan Suhanda
126. Dirman Toha
.................. (bersambung)

Friday, March 2, 2007

PKK dan Serikat Pekerja


Dekatlah dengan Konstituen

KEPENGURUSAN Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) sejatinya berakhir 28 Februari 2007 pukul 24.00. Kini bergulir wacana pemilihan Ketua PKK yang baru pengganti Syahnan Rangkuti.

Ada yang menuntut sesegera mungkin dilakukan pemilihan untuk mengisi kekosongan kepengurusan. Ada yang berinisiatif menyusun jadwal pemilihan, ada pula pengumpulan tanda tangan ketidaksetujuan atas perpanjangan kepengurusan (lihat foto di atas).

Kita tahu, delapan dari sepuluh pengurus PKK memperpanjang kepengurusan selama enam bulan ke depan dengan alasan "masih ada masalah yang belum terselesaikan". Beberapa jam sebelum masa kepengurusan berakhir, tiga orang pengurus menyatakan berhenti menjadi pengurus PKK. Praktis, tinggal enam pengurus PKK (lama) yang menjalankan roda organisasi.

Sejauh ini, belum ada respons atas pengunduran ketiga pengurus itu, juga belum ada respons terhadap terkumpulnya tanda tangan karyawan. Seperti tanda tangan untuk "Seruan Wartawan" sebelumnya, tidak ada paksaan bagi karyawan untuk menandatangi "petisi" ketidaksetujuan perpanjangan itu. Demokratis saja.

Karena PKK bukan serikat pekerja sebagaimana yang didengung-dengungkan, tentu saja tidak ada pemberangusan serikat pekerja di sini, baik terhadap person (orang) maupun lembaga (serikat pekerja) itu sendiri. Sebab, memang tidak ada serikat pekerja.

Anggota serikat pekerja menurut undang-undang wajib memiliki kartu anggota, iuran, dan serikat pekerja itu sendiri terdaftar di lembaga pemerintahan. Karena PKK hanya berbentuk paguyuban, maka tidak ada iuran, tidak ada kartu anggota. Sayangnya orang-orang bingung di luar sana masih saja mengatakan telah terjadi pemberangusan serikat pekerja. Jadi, apanya yang diberangus?

Wednesday, February 28, 2007

2806 Karakter (3)

Berdamai dengan Kenyataan

APA makna “Rabu, 28 Februari 2007 pukul 24.00”? Mungkin tidak bermakna apa-apa bagi sebagian orang. Tetapi bagi ibu yang melahirkan anaknya tepat di waktu ini, atau seorang anak meratapi kematian ayahnya tepat di detik ini, pastilah sang waktu bermakna dalam. Di lingkungan kerja kami, momen itu adalah detik-detik berakhirnya kepengurusan Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK).

Banyak ucapan terima kasih yang disampaikan kepada PKK yang diketuai Syahnan Rangkuti selama dua tahun masa baktinya. Terungkap, bahwa perjuangan PKK terhadap anggotanya, meski itu bukan serikat pekerja, cukup “membumi” dari sekadar perjuangan kontroversial meminta saham. Namun orang segera melupakan jerih payah PKK itu kalau tidak diingatkan sejumlah kawan melalui milis.

Memang, yang menenggelamkan jerih payah PKK adalah upaya sepihaknya memperpanjang kepengurusan selama enam bulan ke depan. Ibarat nila setitik rusak susu segentong, jerih payah dan perjuangan itu meruap, seperti sepotong ranting terseret derasnya aliran air sungai.

Upaya memperpanjang kepengurusan sepihak yang dimotori delapan pengurusnya itu dianggap sebagai sewenang-wenang, tidak demokratis, dan melecehkan “konstituen”, yakni anggota (karyawan) yang memilih pengurus PKK. Kita tahu, ada alasan yang dikemukakan atas perpanjangan itu, yakni “masih adanya masalah yang belum terselesaikan” selama periode kepengurusannya.

Lagi-lagi, orang menangkapnya sebagai ketidakpercayaan, bahkan ketidakrelaan, pengurus PKK terhadap pengurus baru yang akan menggantikannya. Sebagian lagi berpendapat, itu tidak lain dari “kemaruk kuasa”. Suatu permainan yang telah disepekati sebelumnya namun diingkari justru saat permainan itu akan berakhir, tetap akan mengundang reaksi, setidak-tidaknya pertanyaan kalau tidak mau dikatakan kecaman.

Kita tangkap kecaman sejumlah karyawan/wartawan melalui milis atas upaya memperpanjang kepengurusan itu. Di sisi lain, tidak ada satu karyawan pun yang membenarkan upaya sepihak itu. Tidak puas dengan kecaman, aksi mengumpulkan tanda tangan ketidaksetujuan perpanjangan masa kepengurusan pun berlangsung. Bisa diterjemahkan sebagai “mosi tidak percaya”, sekaligus meminta diadakannya pemilihan Ketua PKK yang baru.

Selesai pengumpulan tanda tangan, beberapa jam sebelum masa kepengurusan PKK berakhir, tiga dari delapan pengurusnya menyatakan berhenti dari kepengurusan. Mereka adalah Arbain Rambey, Adi Prinantyo dan Nur Hidayati.

Pengurus PKK berjumlah sepuluh orang. Mereka adalah Syahnan Rangkuti (Ketua), Arbain Rambey, Salomo Simanungkalit, Rien Kuntari, Paulus Bambang Wisudo, Nur Hidayati, Anung Wendyartaka, Luhur Fajar, Doty Damayanti, dan Adi Prinantyo. Hanya dua orang yang tidak hadir saat rapat PKK memutuskan perpanjangan kepengurusan, yakni Rien Kuntari dan Nur Hidayati. Dengan berhentinya tiga pengurus PKK, praktis tinggal enam pengurus yang tersisa.

Detik-detik menentukan bagi kepengurusan PKK berikutnya akan ditentukan dalam detik-detik ini pula. Bisa saja masih ada pengurus PKK lainnya yang menyatakan berhenti. Bisa juga enam pengurus PKK (lama) yang tersisa masih ngotot untuk memperpanjang masa jabatannya selama enam bulan ke depan.

Memang sulit membayangkan sebuah kepengurusan tanpa dukungan penuh anggotanya, seperti lokomotif yang meluncur sendiri di atas rel ketidakpastian. Sementara konstituen yang merasa dilecehkan telah membentuk kepanitiaan untuk memilih Ketua PKK yang baru.

Kita tidak mungkin tahu bagaimana akhir kisah ini mesti sejam ke depan. Yang paling mungkin adalah: berdamailah dengan kenyataan!