Monday, May 21, 2007

Kompasiana PK Ojong (1)




Jujur dan Rendah Hati

MEMILIKI salah satu sifat saja, jujur atau rendah hati, sudah sangat beruntung. Apalagi kalau memiliki kedua sifat itu sekaligus. Petrus Kanisius Ojong atau biasa disingkat PK Ojong, salah seorang pendiri Harian Kompas selain Jakob Oetama, memiliki dua sifat itu sekaligus. Setidak-tidaknya tercermin dalam kolom khususnya di awal kelahiran Kompas hingga akhir 1970-an, Kompasiana.

Secara berkala, pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juli 1920, yang bernama asli Auwjong Peng Koen itu menulis rubrik Kompasiana. Topiknya bisa bermacam-macam, tergantung dari peristiwa mutakhir pada zamannya. Mulai dari topik politik, ekonomi, pers, hukum, asimilasi, sosial kemasyarakatan, kebudayaan, persoalan kota Jakarta, sampai hal yang remeh temeh seperti tulisan mengenai ulang tahun pertama Kompas, 28 Juni 1966 di bawah ini. Kompas lahir 28 Juni 1965, yang berarti akan genap berusia 42 tahun 28 Juni 2007 nanti.

Dalam setiap kolom Kompasiana, Ojong menulis dengan gaya "staccato" -meminjam istilah musik- pendek-pendek dan seperti terputus-putus. Tidak berpretensi sedang berfilsafat dengan bahasa rumit dan kalimat beranak-cucu-cicit untuk menunjukkan kecanggihan berpikir. Bahasa yang ia pergunakan adalah bahasa tutur sehari-hari. Bukan tidak mampu berfilsafat yang kadang dipantulkan lewat rumitnya berbahasa, tetapi ia sadar betul kepada siapa sedang menyampaikan pesan. Kepada khalayak umum pembaca Kompas dengan strata pendidikan yang berbeda-beda. Maka ia memilih bahasa yang lugas, spontan, dan langsung, bahasa yang dipergunakan warga masyarakat sehari-hari.

Cara berpikir pada zamannya, yakni 28 Juni 1966, sudah sangat Indonesia. Misalnya dia mengatakan, "Di antara redaksi dan para pembantunya yang mengisi halaman Kompas terdapat penganut agama Katolik, Protestan dan Islam. Hanya agama Hindu-Bali belum ada. Ditilik dari tempat asalnya, direksi dan redaksi Kompas bersifat nasional. Ada yang dari Yogya, Klaten, Solo, Semarang. Dari Jakarta. Dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Flores."

Sekarang, tentu saja keindonesiaan di Kompas jauh lebih komplet lagi. Bila Ojong menyinggung dua parameter untuk mengukur keindonesiaan, yakni agama dan suku bangsa, maka kedua parameter itu sudah dipenuhi Kompas sejak lama sampai kini. Sekarang, penganut Hindu-Bali pun ada. Secara etnis, dari Aceh sampai Papua juga ada, apalagi Jawa.

Sifat jujur tercermin dari pencapaian tiras alias oplah Kompas di usianya yang baru menginjak usia satu tahun. Jika diibaratkan manusia, tentu saja Kompas saat itu masih bayi, orok dengan kulit memerah. Ojong tidak bombastis dengan membesar-besarkan tiras koran. Bahkan ia mencoba berbagi rasa dengan pembaca mengenai kesusahan Kompas berjuang hidup, bahkan sampai sulitnya harian itu tiba di tangan pembaca.

"Selama 28 Juni 1965 sampai 1 Oktober 1965 tak pernah sekali pun harian ini dapat terbit pagi-pagi. Karena percetakannya tak sanggup. Tak pernah sekali pun tiba di tangan para agen sebelum pukul 6 pagi. Apalagi di tangan pembaca. Pun tak ada penjualan eceran. Salah cetak dalam berita maupun iklan terjadi setiap hari. Maka itu tidak ada ralat. Nanti dalam ralatnya ada salah lagi," Ojong berterus-terang. Mungkin biar terang terus.

Jujur dan rendah hati. Sulit rasanya menemukan dua sifat itu pada diri seseorang, pejabat maupun rakyat. Jangan jauh-jauh, lihat dan rasakan diri sendiri. Adakah dua sifat itu sekaligus bersemayam dalam diri kita? Rendah hati, juga tercermin dalam permintaan maaf yang lugas dan ikhlas, suatu sifat yang juga jarang ditemukan pada kebanyakan orang-orang mutakhir seperti sekarang ini, karena terselip anggapan: meminta maaf berarti mengaku bersalah dan bahkan kalah!

Akan tetapi, tidak bagi Ojong. Simaklah kalimat berikut ini, "Kalau kadang-kadang belakangan ini Kompas terlambat terbit, ada kalanya itu kesalahan redaksi. Atas itu kami menghaturkan maaf."

Ojong, pendiri Kompas itu sudah tiada sejak 31 Mei 1980, 27 tahun lalu. Tetapi sifat-sifat jujur, sederhana, rendah hati, perhatian, kritis, ngemong dan tidak menggurui, akan terus diingat, setidak-tidaknya oleh ribuan orang yang kini menjadi karyawan Kompas, berpuluh-puluh ribu karyawan dan keluarganya yang bernaung di bawah bendera KKG, Kelompok Kompas Gramedia, sebuah kelompok usaha yang dirintisnya. Itupun karyawan yang coba menyelami kedalaman hati dan tingkah laku terpujinya, meski sebatas cerita orang-orang lama atau lewat tulisan-tulisannya.

Untuk tidak berpanjang kata, silakan simak dan ikuti tulisan PK Ojong di bawah ini, persis seperti aslinya:

Kompas Pada Awal-Mula

Di Manila pernah seorang kawan Filipina mengajak kami untuk melihat-lihat Malacanang, istana Presiden.

Istana itu terbuka bagi setiap orang. “Kalau mau kita pun dapat melihat kamar tidur Presiden,” kata kawan itu.
Di redaksi Kompas tidak ada kamar tidur, karena seperti diketahui redaksinya bekerja siang dan malam.

Terus menerus di dapur saja.

Nah, setahun sekali kami ingin mengajak pembaca melongok keadaan dapur Kompas. Sebab hari ini Kompas merayakan ulang tahunnya yang ke-1.
*
Dapurnya kecil saja. Sebetulnya numpang pada kakaknya, Intisari.

Makanya penuh sesak. Mana banyaknya buku, majalah dan koran, dari dalam dan luar negeri. Mana sempitnya tempat. Hingga pernah mahasiswa KAMI kira-kira selusin orang “menyerbu” ke kantor kami, terpaksa dilayani sambil berdiri.

Di antara redaksi dan para pembantunya yang mengisi halaman Kompas terdapat penganut agama Katolik, Protestan dan Islam. Hanya agama Hindu-Bali belum ada.Ditilik dari tempat asalnya, direksi dan redaksi Kompas bersifat nasional.

Ada yang dari Yogya, Klaten, Solo, Semarang. Dari Jakarta. Dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Flores.
*
Sejak 28 Juni 1965 sampai hari ini redaksinya dapat dikatakan sama.

Tetapi percetakan yang didiaminya sudah 3 (tiga).
*
Karena percetakan ini riwayat singkat dari Kompas dapat dibagi menjadi dua.

Babakan pra-Gestapu. Dan babakan post-Gestapu.

Babakan pra-Gestapu adalah jaman urut dada, tarik nafas panjang. Minta ampun.

Selama 28 Juni 1965 sampai 1 Oktober 1965 tak pernah sekali pun harian ini dapat terbit pagi-pagi. Karena percetakannya tak sanggup.

Tak pernah sekali pun tiba di tangan para agen sebelum pukul 6 pagi. Apalagi di tangan pembaca. Pun tak ada penjualan eceran.
*
Salah cetak dalam berita maupun iklan terjadi setiap hari. Maka itu tidak ada ralat. Nanti dalam ralatnya ada salah lagi.

Namun jumlah korektor dulu dan kini sama. Bahkan orangnya hampir itu-itu juga.

Suatu bukti lagi betapa pentingnya peranan percetakan yang baik.
*
Pada umumnya harian ini di jaman prolog Gestapu selesai tengah hari. Hingga memusingkan pihak ekspedisi serta para agen, loper dan pembaca yang menerima harian “pagi”nya 12 jam kemudian! Oplahnya dari 15.000 setiap hari merosot, sampai sekitar 10.000.

Padahal redaksinya sama. Direksinya sama. Dulu maupun kini.

Tanpa percetakan yang baik, redaksi yang bagaimanapun pandainya, tak dapat memajukan hariannya.Maka pada kira-kira 10.000 pembaca yang setia itu –tetap setia pada kami meskipun harian kami tidak karuan terbitnya- kami menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya.

Sekarang oplah Kompas sudah beberapa kali lipat. Tetapi inti dari puluhan ribu langganan itu ialah divisi 10.000 orang yang terbukti setia di jaman sulit itu.
*
Sesudah Gestapu/PKI gagal, harian ini sejak 5 Oktober 1965 syukur dapat pindah ke percetakan PT Kinta sampai sekarang.

Barulah harian ini dapat dibeli eceran pagi-pagi.

Baru sesudah itulah tak jarang pukul 4 pagi agen-agen sudah menerimanya dan sebagian pembaca di ibu kota menerimanya di rumah sebelum pukul 6 pagi.

Sayang tak semua agen sama rajinnya.

Kalau kadang-kadang belakangan ini Kompas terlambat terbit, ada kalanya itu kesalahan redaksi. Atas itu kami menghaturkan maaf.

Tapi karena itu merupakan kecualian (terbit terlambat), maka oplah terus meningkat, sampai mencapai kapasitas maksimal dari percetakan. Ini berarti bahwa untuk sementara waktu permintaan tambahan dari para agen dan seluruh di seluruh Nusantara tak dapat dikabulkan. Sayang.
*
Kompas terbit sebagai adiknya Intisari. Tapi seperti sering terjadi si adik bisa lebih besar dan lebih gemuk dari pada kakaknya.

Bolehkah kami menjelaskannya? Kalau pembaca tak menjual Kompas bekas bacaan Anda selama setahun ini kepada tukang loak, maka koleksi koran itu beratnya kira-kira 9 kilo.

Kalau pembaca menyimpan semua Intisari yang terbit selama tiga tahun ini (nanti 17 Agustus 1966 Intisari merayakan hari ulang tahunnya yang ke-3), maka beratnya koleksi Intisari itu baru kira-kira 2,5 kilo.
*
Achirulkalam, terima kasih kepada pembaca, para pembantu dan koresponden, organisasi PT Kinta, para agen, loper, penjual eceran dan pemasang iklan. Terima kasih pula kepada percetakan-percetakan yang pernah membantu terbitnya Kompas pada permulaannya. Syukur kepada Tuhan yang tak mengijinkan Gestapu/PKI mencapai maksudnya. (Kompas, 28 Juni 1966)

Sumber: Kompasiana, Esei Jurnalistik tentang Berbagai Masalah. Oleh PK Ojong. Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1981, halaman 17-19.

2 comments:

Agus Hamonangan said...

Sebagai pembaca setia Kompas, dimana saya bisa dapatkan buku Kompassiana?

Bravo Kompas!

Salam,
Agus Hamonangan
http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/

Unknown said...

Selamat buat Kompas, sudah 25 tahun jadi pembaca setia, dan pernah juga nulis di sana. Lumayan honornya, he he he.
Toni
http://mypotret.wordpress.com/