Friday, March 23, 2007

Surat Terbuka CAN


Mukadimah:
Saat segerombol pendemo berunjuk rasa di depan Gedung Kompas Gramedia, tampil antara lain sebagai penyampai pesan Paulus Bambang Wisudo. Ternyata, pernyataannya bahwa dia pernah ditawari perusahaan uang pesangon sampai 20 tahun, yang berarti kurang lebih Rp 2,3 miliar dengan asumsi gaji per bulannya Rp 9,5 juta, memancing tanggapan sejumlah wartawan. Salah satunya adalah dari Putu Fajar Arcana (CAN), Wakabiro Kompas di Yogyakarta, yang menyilakan suratnya di milis interen Kompas, dimuat dan disebarluaskan di blog ini. Berikut isi suratnya:

Surat untuk WIS

ADUH Wis, makin hari kamu kok makin brutal begini. Seandainya pun benar kami yang bertanda tangan dan menyebutmu sebagai petualang, itu melanggar hak asasi manusia (itu tentu tuduhan paling kejam), apa bedanya dengan kamu? Dengan tuntutan yang kian tak masuk "akal orang sehat" itu, kamu makin menunjukkan siapa sesungguhnya kamu.

Terus terang pada awal kasus ini bergulir aku "sempat" bersimpati atas perjuangan dan keberanianmu memperjuangkan apa yang menurut kamu pantas diperjuangkan. Tapi semakin hari kamu semakin lepas kendali. Dan sekarang, semuanya menjadi liar.

Aku semakin tidak mengerti apa sesungguhnya yang kamu cari? Dalam dirimu ada paradoks besar, yang barangkali tak pernah kamu sadari. Tuntutan minta dipekerjakan kembali di Kompas, kendati mungkin ini sebatas mengukuhkan posisi tawarmu pada perusahaan, juga tak bisa kupahami.

Bagaimana mungkin seseorang yang mengecap perusahaan ini berkhianat dan gembar-gembor di jalanan agar orang memboikot Kompas, tiba-tiba ingin kembali di dalam. Di dalam sebuah perusahaan yang kamu caci-maki, yang sudah pasti menurut kamu tidak pantas untuk tempat berlindung. Pada saat bersamaan kamu juga mengecap perusahaan ini sebagai penjajah dan harus enyah dari muka bumi. Ini apa coba? Ia tidak sekadar kekerasan, tetapi sebuah kebrutalan yang diteriakkan oleh sekelompok orang jalanan.

Kalau benar perusahaan ini menginjak-injak, dalam logika paling sederhana saja, pertanyaanku, mengapa pula kamu ingin kembali? Wis, kamu tidak akan kembali sebagai pahlawan bagi saya, tetapi tikus kecil yang merengek-rengek minta dikasihani.

Cara yang kamu pakai dengan menggelar demonstrasi terus-menerus bukan saja tidak menghargai proses perundingan dan peradilan yang sedang berlangsung, tetapi jelas ini bahasa jalanan, bahasa para preman yang ingin memeras para pemilik toko. Jelas bukan cara kaum intelek, sebagaimana yang melekat selama ini pada dirimu. Jika pun kamu mengklaim bahwa demonstrasi sah-sah saja secara hukum, tetapi sebagai orang yang bekerja dan bergelimang dalam dunia intelektual, tidakkah cara-cara ini merendahkan dirimu? (Saya tidak tahu apakah kamu masih mempedulikan soal-soal ini).

Paradoks lainnya, dengan tuntutan pesangon sebanyak 20 tahun (kira-kira nilainya Rp 2,5 miliar), dengan syarat lain tidak dipecat tapi diminta mengundurkan diri bersama-sama TOM, hanya mencoreng perjuangan intelek yang selama ini kamu gembar-gemborkan. Sangat berbau materialistik.

Tidak salah jika aku mengecapmu sebagai "pejuang" materialis yang berkedok "intelek". Sungguh patut disayangkan, kamu mencoreng arang muka sendiri.... Seandainya pun perusahaan "mengalah" dan menerimamu kembali, barangkali banyak kawan yang bakal melemparmu kembali ke jalanan, karena memang di situ tempatmu...

No comments: