Monday, March 26, 2007

Aji Mumpung AJI


"O-Te"

KALA Soeharto berkuasa, wartawan wajib menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), satu-satunya organisasi profesi wartawan yang diakui pemerintah. Di luar itu, selain haram hukumnya, juga harus menghadapi kematian sejak dalam kandungan. Harmoko, menteri penerangan sejak 1983 yang mantan Ketua PWI, adalah penjaga gawang pers yang kelewat sadis, sehingga apa yang termuat di media massa adalah hasil dari saringannya.

Untuk itulah, salut kita serukan pada para pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang berani mendobrak benteng tirani rezim saat itu dengan mendirikan organisasi profesi wartawan di luar PWI. Tekanan demi tekanan dari penguasa pasti datang dengan sendirinya. Majalah bawah tanah "Independen", majalah yang dicari-cari saat itu khususnya pascabreidel Tempo, Editor dan Detik.

Salut diberikan pada pendirinya yang gagah berani. Dari Kompas, tercatat nama Satrio Arismunandar (RIO) dan Dhia Prakesa Yudha (DPY) sebagai pendirinya, plus beberapa simpatisan lainnya. Mereka berani menyatakan keluar dari Kompas, setelah mendapat kompensasi tentunya, atas perjuangannya itu. Pendeknya, salut diberikan kepada mereka, sekaligus kepada organisasi profesi wartawan yang mereka dirikan, AJI.

Tatkala Soeharto tumbang dan rezim datang silih berganti, nyatalah bahwa AJI memetik hasil dari perjuangannya itu. Ia menjadi organisasi wartawan yang tiada tandingnya. PWI tenggelam dengan sendirinya, meski tetap eksis di bawah kepemimpinan Tarman Azzam. AJI menjulang sendirian, menenggelamkan organisasi-organisasi profesi wartawan lainnya. AJI kini di bawah kepemimpinan.... (maaf tidak tahu), masih berkibar di atas langit dengan seruan-seruannya.

Bedanya, dulu seruan AJI menyejukkan dan memberi solusi, sekarang seruan AJI lebih mirip provokasi, beropini, memelintir fakta, tunduk pada kehendak seseorang, dan membuat seruan sepihak tanpa berupaya mengecek ulang, yang hakikinya kewajiban wartawan untuk melalukan cover both side. Bukankah organisasi ini beranggotakan wartawan-wartawan hebat yang seharusnya tahu "hukum" pers yang paling dasar itu.

Ambil contoh kecil saat AJI meng-condem bahwa satuan pengamanan (Satpam) Kompas "memiting", "meringkus", dan "membopong" Paulus Bambang Wisudo, wartawan Kompas yang dipecat dengan tidak hormat, yang tidak pernah menghubungi Satpam Kompas. AJI begitu percaya kepada ocehan mulut satu orang, langsung membuat pernyataan provokatif, menyulutkan Total War, yang justru sangat berkebalikan dengan semangat AJI selama ini yang mengusung "peace journalism". Dimana sekarang jurnalisme damai diletakkan saat Total War langsung dimuntahkan?

Saat ditanyakan kepada Satpam Kompas yang katanya "memiting" dan "meringkus" Wisudo, jawabnya hanya senyum dikulum saja. Salah seorang di antara Satpam itu bilang, "Si Wisudo itu pinter main sandiwara, wong dia menjatuhkan dirinya sendiri lalu teriak-teriak seakan-akan dianiaya, padahal kita mencoba menyuruhnya berdiri. Tetapi tidak mau dan meronta-ronta seperti anak kecil. Ya kita boponglah."

Main sandiwara? Itulah bahasa Satpam. Barangkali bahasa kerennya adalah "happening art", sebuah seni teatrikal yang biasa dimainkan pendemo di jalan-jalan. Main sandiwara tentu saja bermakna pura-pura, bukan kejadian sesungguhnya. Kita tentu tidak akan menemukan pernyataan Satpam dengan puluhan saksi di koran-koran, di blog, atau media lainnya (rekaman video kelak mungkin akan menjelaskan secara gamblang hal ini). Yang ada hanyalah pernyataan Wisudo sepihak. Dan, itulah yang dijadikan kesimpulan banyak orang, termasuk AJI, membawa kata kunci "penganiayaan" ini kemana-mana, menjualnya demi menarik simpatik massa, sekaligus mengibarkan bendera Total War.

Padahal, tidak ada asap kalau tidak ada api. Ambil contoh kecil lagi yang tidak pernah terungkap. Beberapa saat sebelum pemecatan berlangsung, Wisudo mengundang puluhan aktivis untuk mengadakan pertemuan di Gedung Kompas. Tidak ada bahasa, tidak ada cerita, apalagi sopan-santun kepada pengelola gedung untuk meminta izin, meski memang saat itu Wisudo masih tercatat sebagai karyawan Kompas. Bayangkan, dimana sopan-santun diletakkan oleh seorang terpelajar dan hero seperti Wisudo? Memangnya Gedung Kompas itu punyanya? Punya mbahnya? Lalu dengan seenaknya dia menempelkan selebaran dimana-mana, di seluruh lantai di Gedung Kompas.

Cobalah AJI belajar berempati, lantas sesekali menempatkan dirinya sebagai Satpam (bukan sebagai wartawan yang hebat?). Sebagai Satpam, apa yang Anda akan lakukan ketika menghadapi ulah seseorang seperti Wisudo di tempat yang menjadi tanggung jawab Anda. Membiarkan dia seenaknya menempelkan selebaran? Membiarkan satu atau beberapa ruang kantor itu untuk diduduki tanpa izin sebelumnya? Atau menegurnya sesuai kapasitas Anda? Jika yang ditegur tidak mau, berontak dan menjatuhkan dirinya sendiri (happening art?), apa pula yang Anda akan lakukan. Membiarkan dia meronta-ronta seperti anak kecil di tengah keramaian suasana kerja?

Mestinya, sebagai organisasi profesi wartawan yang sudah berada di atas angin dan nyaris tanpa ada saingan berarti, AJI (atau orang-orang AJI), sering-seringlah melakukan advokasi sehingga menarik simpatik banyak wartawan berbagai media massa untuk masuk menjadi anggotanya, bukan malah melakukan provokasi dan menghasut.

Tidak pernah AJI bayangkan, hampir seluruh wartawan Kompas dan wartawan media massa lainnya yang segrup dengan Kompas, langsung antipati terhadap AJI (kecuali simpatisan Wisudo), dimanapun AJI berada. Bagaimanapun, setiap individu yang bergabung dalam komunitas tertentu (baca Kelompok Kompas Gramedia/KKG), memiliki l'esprit de corps, semangat kelompok, sendiri-sendiri secara alamiah. Ketika kelompok itu ditekan dan dihina, memang menghasilkan beberapa personil yang cuwek, tidak mau tahu, dan merasa bukan urusannya.

Tetapi ingat, dari kelompok ini juga akan menghasilkan orang-orang "fundamentalis", yang siap bertahan dengan seluruh jiwa-raga tatkala rumah tempat mereka bernaung diserang lawan. Dengan semangat kelompok itu pula, di dalam kelompok KKG kita bisa mengibarkan semangat boikot terhadap apapun yang berbau AJI. Tengoklah kenyataan beberapa kali Biro Kompas di Yogyakarta bahkan sampai ke Toko Buku Gramedia yang didemo anggota AJI. Menyakitkan.

Ini sungguh menciptakan antipati yang luar biasa. Subyektivitas kita sebagai kelompok mengatakan: memangnya kita tidak bisa melakukan hal seperti AJI? (mesti tentu saja norak).

Lembaga-lembaga manajemen, diklat, rekrutmen, sumberdaya manusia Kompas dan kelompoknya, bisa saja kita provokasi agar tidak memberi tempat kepada AJI dan organisasi-organisasi pendukungnya. Setidak-tidaknya, kita jadikan AJI sebagai "OT" (baca "O-Te") alias organisasi terlarang bagi mereka yang berada di bawah naungan KKG. Sebagai "OT", kita bisa melakukan "sweeping", setidak-tidaknya pendataan terhadap orang-orang KKG yang telanjur menjadi anggota AJI. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah.

Kita bisa menekan manajemen, diklat, rekrutmen dan sumberdaya manusia di seluruh KKG agar ke depan tidak lagi memberi jalan kepada AJI dan kelompok pendukungnya. Yang sudah telanjur masuk AJI, kita bina dari dalam dan mengupayakan mereka kembali ke jalan yang benar.

Memang, tidak ada cara lain selain memberi pelajaran (baca pembalasan) dengan cara itu, meski terasa norak. Anggap saja ini pembalasan terhadap perlakuan AJI yang sudah kelewat batas: menyakitkan hati ribuan orang hanya untuk menyenangkan satu orang saja!

No comments: