Saturday, February 3, 2007

Kisah dari Blog Sebelah


Mukadimah:

Rekans, di milis kita masih berlangsung pernyataan pro dan kontra atas pemecatan Paulus Bambang Wisudo. Simpati dan antipati, kecaman maupun dukungan kepada manajemen, juga masih kita temukan. Hal yang wajar dalam demokrasi. Akan tetapi, mari sejenak kita lakukan "gencatan kata-kata" pro-kontra itu. Kita simak upaya penghancuran Kompas secara sistematis dan tanpa henti dari pihak-pihak yang memang menghendaki lembaga ini binasa melalui blog sebelah. Pemutarbalikan dan "plintiran" fakta secara lihai, penggiringan opini publik, dan hasutan-hasutan yang mereka lakukan, bisa saja dianggap sekaligus ditangkap masyarakat umum sebagai suatu kebenaran. Kita simak bersama berita blog sebelah secara utuh...

Moderator


Tindak Anti-Union Manajemen Kompas Segera Diusut


Jakarta, Kompas Inside. Kepala Dinas Tenagakerja DKI Rusdi Mukhtar, Kamis (1/2/2007) petang, menyatakan akan membentuk tim khusus untuk mengusut tindak anti-serikat pekerja (anti union) yang dilakukan manajemen harian Kompas.


“Saya tidak main-main. Anda lihat disposisi yang saya buat,” ujar Rusdi. Dia lalu menunjukkan surat berwarna kuning ke 20 lebih anggota Komite Anti Pemberangusan Serkat Pekerja (KOMPAS) yang memenuhi ruang rapat yang cukup lapang di lantai II Gedung Disnakertrans DKI.


Rusdi sendiri ditemani oleh Kepala Sudin Perselisihan Perburuhan Sumanto, Kepala Sudin Pengawasan, dan beberapa staf lainnya saat menerima rombongan Komite.


Penegasan Rusdi dilontarkan setelah ia paham, bahwa pemecatan Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) Bambang Wisudo disebabkan oleh kegiatan wartawan senior ini sebagai aktivis serikat pekerja.


Sebab, Bambang Wisudo adalah pendiri di PKK. Dan, dalam AD/ART PKK yang didirikan sejak tahun 1998, memang sudah ditegaskan bahwa amanat karyawan harian Kompas adalah untuk mengklarifikasi keberadaan saham kolektif 20 persen milik karyawan. Saham ini diwariskan PK Ojong sebelum wafat pada tahun 1980.


Tahun 1984, aturan saham karyawan ini kembali ditegaskan oleh Keputusan Menteri Penerangan No 1/1984 tentang saham kolektif karyawan sebesar 20 persen sebagai syarat memperoleh Surat Ijin Usaha Penerbitan Surat Kabar (SIUPP).


Menurut Rusdi, mutasi hingga pemecatan yang dialami Bambang Wisudo akan disidik. “Dinas Tenaga Kerja tidak punya kepentingan apa-apa. Kalau ada indikasi pegawai saya nakal, saya minta laporkan saya. Saya akan tindak dengan tegas,” tegasnya di depan stafnya, termasuk Rindjan Saragih.


Rusdi menyampaikan hal ini untuk menanggapi adanya diskriminasi perlakuan antara pengusaha dan pekerja di Disnakertrans DKI. Dalam kasus ini, proses PHK yang diajukan manajemen Kompas ke Bambang Wisudo diproses dalam tempo kurang 10 hari. Sementara pengaduan Komite tentang tindak anti-union manajemen Kompas sempat diterlantarkan sampai satu bulan. Sampai-sampai tim litigasi Komite yang dikomandani Sholeh Ali harus mengirim surat sebanyak 5 kali.


Menurut Rusdi, dalam pasal 4 ayat 2 (f), sudah jelas ditegaskan, bahwa salah satu tugas pengurus serikat pekerja adalah “memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.” Maka, pengurus serikat pekerja tidak boleh dijatuhi sanksi. Seperti dimutasi, apalagi di-PHK.


Dalam rapat klarifikasi itu, dari Komite ikut hadir Saeful Tavip dari OPSI, Direktur LBH Pers Hendrayana, Astuty Lystianingrum dari YLBHI, Sekjen AJI Abdul Manan. Juga hadir LBH Jakarta, ANBTI, dan beberapa aktivis pers mahasiswa.


Sementara itu, dalam perkembangannya, jumlah penandatangan Petisi Dari Para Sahabat terus bertambah. Lucunya, hal ini terjadi walau wartawan Kompas telah mengeluarkan ‘kebulatan tekad’ untuk mendukung manajemen harian Kompas memberangus aktivis serikat pekerja. (rig/E2)


Sumber: Kompasinside, postingan 1 Februari 2007

1 comment:

abah ush said...

Sampai nama kelompok saja mereka memalsukannya. Singkatan Komite Anti Pemberangusan Serkat Pekerja menjadi "KOMPAS" tentu saja dicari-cari dan ada maksudnya. Dengan integritas dan kredibelitas Kompas sesungguhnya, mereka dengan mudah mendapat akses-akses ke mana-mana. (Di lapangan, tidak sedikit wartawan amplop yang mengaku-ngaku sebagai wartawan Kompas untuk mempermudah menemui nara sumber, dan memerasnya)
Saya dengar Komisi IX DPR juga tertipu dengan ini. Mereka pikir yang akan mengadu adalah wartawan Kompas, eh, ternyata kecele! Makanya tidak ada lagi kelanjutan cerita sejak kelompok itu mengadu.
Boleh jadi Kepala Dinas Tenagakerja DKI Rusdi Mukhtar juga mengalami hal serupa, makanya dia menerima kelompok mereka.