Tuesday, February 6, 2007

Surat Ging Ginanjar kepada AJI

Mukadimah:

Di tengah rumor PKK memperpanjang masa kepengurusannya dalam rapat kemarin (6/2) sore, yang implikasinya bisa ditebak sendiri, ini postingan lama yang diselundupkan Jannes Eudu Wawa ke milis Kompas. Surat otokritik dari Ging Ginanjar kepada AJI (Aliansi Jurnalis Independen) ini membuktikan, masih ada sikap rasional dari anggota AJI selain citra AJI yang kini cenderung "reaktif", "berangasan", "garang", "tukang demo", dan "politis" di mata umum. Otokritik ini sedikitnya membenarkan semua pencitraan itu, sekaligus juga masukan berharga buat AJI sebagai organisasi profesi (wartawan) yang terkemuka, setidak-tidaknya untuk saat ini.

Moderator


Sikap Kita tentang Kasus Wisudo-Kompas

Saya minta maaf tak terlibat dalam pembelaan kasus Wisudo-Kompas. Bahkan sekadar menyampaikan simpati dan dukungan pun cukup terlambat. Betapapun saya ingin menyampaikan beberapa hal.

Pertama, penghargaan kepada AJI-Indonesia maupun Jakarta, maupun kota lain, yang sangat responsif. Ketangkasan bereaksi yang harus terus kita jaga.
Kedua, ini otokritik.

Terang-terangan saja. Menurut saya, berbagai langkah politik kita -AJI, maupun koalisi organisasi untuk membela Wisudo- agak terlalu jauh. Seingat saya, sebelumnya AJI belum pernah sampai mendemo media, lebih-lebih untuk kasus perburuhan individual begini. Paling banyak, kita membuat pernyataan, atau mencoba mencari solusi dengan perundingan. Kalau mentok, kita masuk ke jalur hukum. Bahkan untuk urusan yang sangat politispun, AJI seingat saya tak pernah mendemo media.

Ketika eks Tempo anti Bob Hassan menolak Gatra dan tak diberi SIUPP untuk Berita/Opini, kita terlibat dalam aksi boikot Gatra yang diprakarsai Arief Budiman. Namun tak pernah mendemo Gatra. Yang pernah didemo, justru Rendra, karena terlibat dalam suatu acara Gatra.

Ketika sejumlah media menzalimi anggota AJI di awal-awal keberadaan organisasi ini, kita juga tidak sampai melakukan aksi massa. Misalnya ketika Imran Hasibuan disingkirkan Forum, lebih-lebih dalam "golden shakehand" Kompas-Satrio dan Yudha.

Ketika banyak media memblokade pemberitaan tentang AJI, kita tak berunjuk rasa. Ketika sejumlah media mendukung PWI dan Harmoko dan Orde Baru dalam mengkriminalkan AJI, kita juga tak mendemo mereka. Ketika ada bos media yang melarang wartawannya agar tidak jadi anggota AJI, kita tak memberui reaksikeras.

Bukan karena kita waktu itu terlalu muda sebagai organisasi. Melainkan karena kita tidak ingin menciptakan musuh baru.

Sekarang, dalam kasus Wisudo -dengan segala simpati dan dukungan saya untuk Anda, Wis- menurut saya kita tengah berada di sebuah jalur cepat untuk memiliki musuh baru, kehilangan kawan dan simpati dan dukungan. Kita tidak boleh membiarkan suatu ketidakadilan terjadi. Kita tidak bisa netral mengenai Wisudo, karena dia anggota kita. Kita tak bisa cuma berpangku tangan karena kita sudah cukup dekat dengan Kompas. Tetapi kita harus menjalankannya dengan dingin, elegan, dan proporsional.

AJI harus terlibat dalam kasus ini sebagai penengah. Atau kalau sebagai pembela, arahnya untuk mencari solusi. Bukan untuk berperang. Menurut saya, unjukrasa di Kompas dan melaporkan pemrednya ke polisi, bisa ditafsirkan semacam pernyataan permusuhan. Wisudo bisa melakukan itu, para wartawan Kompas bisa melakukan itu, tapi tidak AJI. Menurut saya, AJI hanya bisa terus berbicara, berdialog dan berunding. Kalau mentok, sebagaimana seharusnya, kita proses secara hukum -yang proporsional juga.

Biarkan hukum menjadi jalan pemecahan sengketa ini, dan kita berdiri dipihak Wisudo.

Namun, untuk kesekian kalinya namun, meluaskannya ke, katakanlah, "perjuangan politik," dengan rangkaian demo dll, menurut saya terlalu jauh... dan menurut saya bisa jadi blunder besar.

Langkah itu bisa menciptakan konflik loyalitas di kalangan anggota AJI yang wartawan kelompok Kompas. Padahal jumlahnya juga masih sangat sedikit.

Kita bahkan dalam bahaya kehilangan konstituen pendukung perjuangan AJI secara umum.

Suryopratomo dan Kompas sebagai lembaga, selama ini sudah cukup dekat dengan AJI. Artinya, betapapun sulit, mestinya dialog dimungkinkan. Jangan menganggap saya mengusulkan agar kita tunduk kepada Kompas untuk membalas budi atau apa. Tidak.

Yang saya mau bilang, Kompas, Suryopratomo, dll, adalah mitra AJI, dan harus selalu dianggap sebagai mitra. Dan mungkin tidak begitu seharusnya kita memperlakukan mitra.

Dengan mitra, kita bisa berselisih, bisa bersengketa. Tetapi cara menyelesaikannya, mestinya elegan, dingin, jernih, konstruktif, danmencari solusi.

Kegarangan dan "semangat darah muda haus demo," lebih baik kita hemat untuk banyak isu lain. Banyak sekali.Kalau jalan begini yang kita tempuh, mungkin kita bisa "menang" untuk kasus itu secara individual. Namun secara luas kita bisa kalah karena kehilangan simpati dari keluarga besar media itu yang menganggap kita mempermalukan dan memusuhi mereka. Potensi itu besar.

Ini bukan pertama kalinya ada anggota AJI yang berselisih dengan tempat kerjanya. Dan ini pasti bukan merupakan yang terakhir. Kalau jalan seperti ini yang selalu kita tempuh untuk membela anggota AJI, saya kuatir kita akan kehabisan energi, kehabisan kawan dan mitra. Dan kehabisan respek juga. Karena kita akan selalu dianggap tak lebih dari organisasi anak muda berangasan belaka.

Dengan otokritik itu, saya ingin mengusulkan agar kita mengevaluasi lagi metoda pembelaan kita untuk kasus wisudo. Lebih jauh, saya menyarankan agar kita, AJI, menghentikan semua aksi politis (demo dan perang informasi dll). Dan memfokuskan perjuangan di jalan perundingan, dialog, dan hukum. Maaf kalau catatan ini bernada "discouraging". Dan nyeleneh. Maaf kalau dianggap mementahkan, dan bernada memadamkan api perjuangan.

No comments: