Sunday, February 11, 2007

Jaring Pendapat


Siapa Aniaya Siapa?

Seperti yang dilansir Tri Agung Kristanto (TRA) bahwa Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) memperpanjang masa kepengurusannya --beberapa rekan telah menanggapi langkah perpanjangan kepengurusan PKK di bawah kepemimpinan Sahnan Rangkuti dalam postingan sebelumnya-- rupanya isu itu bukan isapan jempol belaka. Blog KompasInside memperkuat dugaan itu dengan menyatakan, perpanjangan kepengurusan itu semata-mata menyikapi "Seruan Wartawan Kompas" yang digagas Bre Redana dan Efix Mulyadi.

"Keputusan itu diambil secara aklamasi dalam rapat pengurus PKK hari Selasa (6/2) petang kemarin di Gedung harian Kompas. Perpanjangan itu berlaku enam bulan sejak kepengurusan PKK berakhir tanggal 28 Februari 2007. Dengan demikian, kepengurusan PKK masih memakai formatur pengurus lama sampai akhir Agustus 2007," demikian Kompas Inside dalam postingan, Kamis (8/2) .

Jika isu perpanjangan kepengurusan itu benar, ada kesalahan berpikir serius di sini, atau barangkali logika yang "jumpalitan" tidak karukaruan. Atas pemecatan Paulus Bambang Wisudo, misalnya, isu yang dilempar ke publik oleh pendemo profesional adalah: manajemen Kompas berusaha memberangus serikat pekerja yang di Harian Kompas bernama PKK.

Selama ini Kompas, baik manajemen maupun karyawannya, tidak pernah menangkis serangan dan plintiran ini. Diam. Pasif, kecuali lewat "seruan" itu. Akan tetapi, keputusan memperpanjang kepengurusan itu sendiri sesungguhnya merupakan jawaban atas pertanyaan mereka sendiri: bahwa PKK itu ada, tidak diberangus, dan bahkan masih akan terus dinikmatinya. Buktinya? Ya, perpanjangan kepengurusan itu tadi!

Ibarat menuding "ya" (pemberangusan PKK), tetapi kemudian dibantah sendiri dengan mengatakan "tidak" (mengakui eksistensi PKK dengan memperpanjang kepengurusan). Kesalahan berpikir yang serius, bukan? Atau justru dengan cara-cara logika jumpalitan seperti inilah para profesional itu bekerja?

Hanya saja, hati-hati dengan perangkap perpanjangan kepengurusan ini. Pengurus tentu tidak akan mengatakan ini sebagai "diktator", "sewenang-wenang", atau "gila kekuasaan", tetapi "bagian dari perjuangan". Ini pancingan lain dari apa yang disebut "total war". Sekali salah melangkah, kita akan terseret dan terbawa arus pusaran yang ditebar. Punya pendapat atau komentar lain? Jika ya, klik comments di bawah postingan ini atau kirim ke imel blog:
insidekompas@yahoo.com.

Moderator

2 comments:

InsideKompas said...

Dear all

Dari TahuTempe
(http://tahutempe.thumblogger.com/home/log/2007/7/wartawan-vs-wartawan-komp.html)

Saya tahu adanya perang blog antara eks wartawan Kompas dan bekas teman-temannya di Kompas.

Saya bingung dan prihatin melihat ini. Bahwa mereka yang di luar Kompas akhirnya membentuk kubu perlawanan, atas nama apapun, itu wajar. Bahwa artileri mereka bukan hanya berupa demo melainkan juga bombardir teks, itu juga wajar.

Saya pun mungkin akan melakukan serupa misalkan dipecat dari perusahaan saya da saya merasakan ketiadkadilan. Perlawanan akan saya lakukan secara bergerilya karena hanya itu medan yang saya bisa.

Yang saya tidak faham mengapa wartawan Kompas juga melakukan hal serupa padahal itu bukan kelasnya? Dipancing main cemen pada ngikut!

Tidak saya maksudkan agar Kompas diam saja. Kompas harus bicara sebagai institusi melalui orang2 yang ditunjuk untuk menjalankan fungsi public relations.

Dengan membuat blog, urusan internal kekaryawanan diumbar.
Sebagai pembaca Kompas dari generasi kakek saya kurang suka dengan itu, tidak ada relevansinya dengan kepentingan pembaca, malah jadi terkesan Kompas isinya cuma office politics yang memuakkan.

Kompas bukan perusaan Tbk, jadinya tidak ada kewajiban untuk disclose semua urusan dapur. LSM pun (misalnya LBH dan Walhi) juga tidak disclose semua urusan internal, selain laporan keuangan karena itu menyangkut
pertanggungjawaban dana dari pihak luar lembaga.

Dengan membuat blog Inside Kompas, Anda semua bermain eceran. Saya tak menganggap Wisudo benar atau Kompas salah, begitu pula sebaliknya. Biarlah pengadilan yang memutuskan.

Tapi di luar pengadilan Anda harus memenangkan opini publik. Caranya tentu harus berkelas. Blog boleh
dimanfaatkan sebagai kegiatan PR, tapi tidak menjadi perpanjangan gunjingan daripada milis internal Kompas.

Cukuplah blog Anda menjadi tempat semacam rilis resmi, bukan si A dari Kompas menanggapi si B dari Kompas juga.

Dan sesuai prinsip blog biarkan semua orang (di luar Kompas) berkomentar dan berdiskusi terhadap setiap posting.

Salam prihatin,

MW
Jakarta

InsideKompas said...

Balasan dari moderator Insidekompas atas komentar MW:

Blog insidekompas.blogspot.com ini murni milik pribadi, bukan milik sejumlah wartawan/karyawan Kompas, apalagi manajemen Kompas. Kalau atas nama sejumlah wartawan/karyawan Kompas, nanti diplintir lagi sebagai "kepanjangan tangan manajemen" atau "dibiayai manajemen". Padahal semua tahu, bukan, bikin blog itu gratis. Jika ada 250-an wartawan Kompas dengan sekitar 1.000-an karyawannya, besar kemungkinan ada blog sejumlah itu jika mereka berinisiatif membuat blog sendiri-sendiri. Memiliki dan berkreasi di blog adalah bagian dari demokrasi. Semua orang patut menghargai, sebagaimana orang-orang menghargai blog yang Anda miliki. Kompas Inside, adalah blog serius yang digarap bersama-sama secara profesional. Berbeda dengan Insidekompas yang hanya milik pribadi, yang setidak-tidaknya menyuarakan ajakan pribadi sebagai bagian dari Kompas. Salut saya haturkan jika Anda nrima dan berdiam diri begitu saja tatkala tempat Anda bernaung dihujat, dicacimaki, dan didiskreditkan sedemikian rupa. Sebagai pribadi, sebagai bagian dari (mungkin hanya sekrup) Kompas, saya bereaksi terhadap blog Kompas Inside. Mungkin "cemen" dan "memuakkan" seperti Anda katakan. Boleh saja. Tetapi, sekali-kali berempatilah... bagaimana jika Anda adalah saya, atau bagian dari rekan-rekan wartawan yang menandatangi "seruan" itu. Dengan blog Insidekompas, saya ingin menunjukkan bahwa rekan kami, Paulus Bambang Wisudo bukanlah seseorang yang "tanpa salah dan cela" di mata umum. Bukanlah pandangan umum selama ini Kompas sebagai institusi telah menganiaya dan memecat orang yang tidak bersalah? Bayangkan, ini sudah dianggap sebagai kebenaran umum! Apakah keliru kalau saya bereaksi dengan blog pribadi ini? Bayangkan, pemecatan itu diidentikkan dengan pemberangusan serikat pekerja (PKK) oleh manajemen Kompas. Ironisnya, pengurus PKK malah menikmatinya dengan memperpanjang masa jabatan/kepengurusan selama enam bulan ke depan. Itukah yang namanya pemberangusan? Mengapa penolakan tugas seorang wartawan ke Medan, Aceh, terakhir Maluku tidak pernah dipersoalkan? Saya sebagai wartawan, sudah teken kontrak bahwa saya harus tunduk pada perintah tugas (liputan/lapangan). Bayangkan kalau Anda punya koran lantas wartawan Anda menolak tugas liputan sampai tiga kali, lantas menyilakan pihak luar mengobrak-abrik dapur perusahaan/rumah Anda. Sekali lagi salut kalau Anda hanya bisa berdiam diri. Bagaimanapun, saya sebagai pribadi menghargai postingan Anda yang tajam dan bernas, sehingga memberi pemahaman baru. Terima kasih.